logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

FGD Bersama Para Hakim dan Mediator

FGD Bersama Para Hakim dan Mediator

FGD BERSAMA PARA HAKIM DAN MEDIATOR

 

 

Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bersama para Hakim Pengadilan Agama dan Mediator. FGD ini merupakan bagian dari pelaksanaan penelitian tentang “Improving Legal Awareness on Children Rights among Islamic Courts’ Judges in Indonesia: Reviews on Legal Norms and Practices in the Perspective of Gender Equity, kerjasama antara ISLaMS dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), Universitas Oslo, Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari kegiatan FGD penyusunan instrumen penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 26 April 2024, di Hotel Grand Rohan Yogyakarta.

 

Kegiatan FGD bersama para hakim dan mediator dilaksanakan pada hari Jum’at, 19 Juli 2024, bertempat di Samas Room di Lantai 3 Hotel Saphir, Yogyakarta, mulai pukul 08.00 – 16.00. Peserta FGD ini adalah para hakim Pengadilan Agama, para mediator serta Tim Peneliti ISLaMS. Para hakim yang hadir dalam kegiatan ini adalah: Drs. H. Nurrudin, S.H., M.S.I (PA Sleman); Rika Hidayati, S.Ag., M.H. (PA Sleman), Dr. Jamhadi, LC, M.EI (PA Wonosari); Dra. Sri Sangadatun, M.H (PA Wonosari), Dr. Yengkie Hirawan, S.Ag, M. Ag (PA Bantul); Dr. H. Ahmad Zuhdi, S.H., M.Hum. (PA Kota Jogja); Zulfa Yenti, S.Ag. M.Ag. (PA Wates), Zulhery Artha, S.Ag. M H. (PA Wates), Muadz Junizar, S.Ag, MH (PA Klaten); Nur Lailah Ahmad, S.H., M.H (PA Semarang), Choiru Romzana, S.H., CM. (Mediator PA Klaten), dan Dr. Agus Suprianto, S.H., M.H, CM, (Mediator PA Bantul). Tim ISLaMS hadir dengan formasi lengkap, yaitu Prof. Dr. Euis Nurlaelawati (Direktur Eksekutif), Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag (Sekretaris), Dr. Lindra Darnela (Direktur Riset dan Publikasi), Dr. Abdul Mujib (Direktur Pelatihan dan Kerjasama), Dr. Hijrian Angga Prihantoro (Researcher), Muh. Jihadul Hayat, M.H (Researcher), Ainun Mangunsong, S.H., M.Hum (Researcher), dan Ery Susanti, M.M (Finance staff).

 

Topik FGD kali ini adalah pemahaman norma dan praktik hukum para hakim dan mediator terkait hak-hak anak dalam perspektif gender. FGD dibuka oleh Direktur Eksekutif ISLaMS, Prof. Euis Nurlaelawati, yang mengenalkan tentang ISLaMS dan tujuan pendiriannya, menjelaskan tujuan dan bentuk kegiatan riset serta rundown acara yang berlangsung hari ini. Sebelum sesi diskusi dimulai, para hakim dan mediator dipersilahkan untuk memperkenalkan diri tentang nama, institusi, dan pengalaman karir mereka. Diskusi difokuskan pada tiga kasus yang berkaitan dengan hak anak, yaitu: pengasuhan, perwalian, dan dispensasi perkawinan. Setiap hakim dan mediator dipersilahkan untuk menyampaikan pemahaman (knowledge) dan pandangan mereka terhadap norma serta sikap dan praktik mereka dalam perkara yang pernah diputuskan. Dalam kasus pengasuhan anak, focus diskusinya pada masalah  hak prioritas ibu , pemberian hak asuh anak di bawah usia 12 tahun kepada ibu, dan kesamaan usia anak laki-laki dan perempuan kaitannya dengan batasan hak ibu dan hak anak memilih. Dalam kasus perwalian, diskusi difokuskan pada masalah hak perwalian orang tua (ayah dan ibu) dalam hal harta dan diri, sedangkan dalam kasus dispensasi kawin, pembahasannya difokuskan pada masalah: usia minimum sebelum perubahan 2019 (terkait perbedaan usia dan usia minimum nikah anak perempuan di bawah usia 16 tahun), kenaikan usia minimum pada tahun 2019 (meliputi: peningkatan usia minimum anak perempuan, kesetaraan usia laki-laki dan perempuan 19 tahun, dan kategori “Keadaan mendesak” yang dikaitkan dengan jender.

 

Diskusi yang berlangsung dengan santai dan hangat ini dibagi dalam dua sesi, yaitu sesi pengasuhan dan perwalian (jam 09.00 – 11.45) dengan moderator Prof. Ali Sodiqin, dan sesi usia minimum perkawinan (jam 13.30 – 16.00) dengan moderator Dr. Lindra Darnela. Satu persatu para hakim dan mediator menyampaikan pengalamannya menangani perkara yang berkaitan dengan kasus pengasuhan anak, perwalian dan dispensasi kawin. Para hakim memiliki pemahaman yang baik terkait norma-norma yang mengatur ketiga masalah tersebut. Dalam penentuan hak pengasuhan anak, para hakim menekankan pada kepentingan dan kemaslahatan anak, sehingga terkadang hakim memutuskan secara contra legem (tidak mengikuti norma yang ada). Penetapan hak asuh anak apakah kepada ibunya atau bapaknya digali secara intensif berdasarkan fakta hukum di persidangan. Penetapan hak asuh anak (hadhanah) oleh hakim juga diiringi dengan ketentuan memberikan akses kepada para pihak untuk dapat bertemu sang anak. Di samping itu para hakim juga menggunakan hasil mediasi sebagai dasar keputusannya.

 

Para hakim juga melakukan otokritik dalam pembuatan keputusan. Hakim biasanya langsung focus pada pasal-pasal, sehingga lupa pada asas-asas hukum yang berlaku. Oleh karena itu para hakim  perlu melihat lagi apakah penerapan pasal tersebut sesuai dengan asas- asas yang menjadi dasar hukunya. Di sisi lain para hakim juga menyampaikan pentingnya lembaga pemantau putusan hakim, untuk memastikan agar putusan tersebut ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak. Pada saat ini beberapa Pengadilan Agama sudah melakukan kerjasama dengan Pemda, seperti Dinas Dukcapil dan Dinas Sosial untuk mengawal putusan-putusannya.

 

Dalam kasus perwalian, pengajuannya lebih banyak terkait persoalan administrasi yang dipersyaratkan oleh lembaga lain. Seperti misalnya dalam masalah pencairan dana di Bank, jual beli tanah, dan pengurusan dokumen paspor. Menurut para hakim, selama orang tuanya masih hidup, hak perwalian melekat kepada mereka, meskipun hak asuhnya jatuh kepada salah satunya.

 

Dalam kasus dispensasi kawin, para hakim tidak selalu mengabulkan permohonan dispensasi dengan alasan terjadi kehamilan. Perlu melihat secara komprehensif, case per case, melalui kajian maqasid syari’ah. Alasan mendesak yang menjadi dasar dikabulkannya dispensasi kawin diberlakukan secara variatif dengan mempertimbangkan kultur masyarakat setempat. Kasus yang sama (karena hamil misalnya) dapat diputuskan berbeda, karena tergantung pada fakta persidangan dan penilaian hakim. Kasus dispensasi kawin tidak bisa digeneralisir, kasus yang sama menghasilkan putusan yang sama. Dalam beberapa kasus, pemohon dispensasi kawin tidak selalu dari pihak perempuan, tetapi juga berasal dari pihak laki-laki. Temuan lain yang menarik adalah bahwa tidak semua perkawinan di bawah umur diajukan dispensasi ke pengadilan. Perkara dispensasi kawin yang tidak diurus ke pengadilan jumlahnya jauh lebih banyak.

 

Dalam closing statement, Prof. Euis Nurlaelawati mengapresiasi dan berterima kasih kepada semua narasumber. Banyak saran dan masukan yang diterima oleh Tim ISLaMS dan perlu ditindaklanjuti guna pendalaman riset yang sedang dijalankan.