logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

The Best Interest of Child sebagai Dasar Penetapan Hak Asuh Anak

The Best Interest of Child sebagai Dasar Penetapan Hak Asuh Anak

 

ISLaMS bekerjasama dengan NHCR Kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD). Tema kegiatan ini adalah “Pemahaman Norma dan Praktik Hukum Para Hakim Terkait Hak-Hak Anak dalam Perspektif Gender dan Kebebasan Beragama”. Kegiatan yang dilakukan pada tanggal 28 September 2024 ini berlangsung secara hybrid di Ruang Jasmine Hotel Grand Rohan Yogyakarta. Peserta FGD terdri dari Tim Peneliti ISLaMS, Para Hakim Pengadilan Agama, Advokat dan Mediator. Peserta FGD yang berasal dari unsur hakim terdiri dari: Dr. Abdurrahman Rahim, Dr. Ahmad Zaenal Fanani, Dr. Sugiri Permana, Muhammad Ridwan Firdaus, Dr. Latifah Setyawati, Reny Hidayati, Siti Hanifah, dan Arina Kamiliya. Dari unsur Avokat adalah: Ibu Lise Yolanda, Dr. Tsalis Noor Cahyadi, sedangkan dari kalangan mediator yaitu: Dr. Fitriyani Zein, dan Dr. Sri Harini. Masing-masing peserta berasal dari beberapa wilayah yang berbeda, ada yang di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Serang, Jakarta dan Jawa Timur.

 

Isu utama yang dibahas dalam FGD kali ini adalah terkait pemahaman dan praktik hakim dalam memutuskan perkara pengasuhan dan perwalian anak, serta dispensasi perkawinan. Kegiatan ini dimulai dengan welcoming speech dari Direktur ISLaMS, Prof. Dr. Hj. Euis Nurlaelawati M.A., Ph.D. Beliau memperkenalkan ISLaMS sebagai lembaga baru (berdiri pada tahun 2023) yang bergerak di bidang pendidikan dan penelitian terkait hukum Islam dan masyarakat. Prof Euis menyampaikan bahwa kegiatan FGD ini merupakan bagian dari project riset yang dilaksanakan ISLaMS bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) selama tiga tahun, mulai tahun 2024 hingga 2026. Di akhir sambutannya, Prof Euis menyampaikan ucapan terima kasih kepada para hakim, advokat, dan mediator, yang sudah berkenan bergabung pada acara ini.

 

The Best Interest of Child: Prinsip Utama Dalam Hak Asuh Anak

Sesi pertama dibuka oleh moderator, Prof. Dr. Ali Sodiqin dengan mempersilahkan para peserta untuk memperkenalkan diri termasuk pengalamannya dalam berkarir. Perkenalan pertama dimulai oleh Yang Mulia hakim, Dr. Sugiri Permana yang langsung memberikan statement bahwa terkait pengasuhan anak dalam kondisi polemik yang rumit, maka hakim sudah memulai memutuskan adanya joint custody. Namun demikian, tetap mengutamakan adanya prinsip the best interest of child. Ia juga menilai bahwa terkait usia 12 tahun, bukan sesuatu yang limitatif sehingga dalam beberapa kasus, anak yang usia 7 tahun sudah bisa ditanya keinginannya untuk memilih antara diasuh oleh ibu atau ayah.

 

Sesi selanjutnya adalah diskusi terkait perwalian dan pengasuhan anak. Dimulai dengan sharing pengalaman dari Dr. Abdurrahman Rahim yang pernah memberikan putusan hak asuh anak di bawah usia 12 tahun namun tidak kepada ibu kandungnya, melainkan kepada neneknya. Ada juga putusan hak asuh diberikan kepada ayahnya. Prinsip yang dipegang oleh hakim dalam hal ini adalah melihat kepentingan terbaik untuk anak, termasuk kenyamanan anak dalam pengasuhan. Dr. Zaenal Fanani juga menyampaikan bahwa dalam melakukan putusan terkait hak asuh anak menggunakan tiga parameter, yaitu: pertama, melakukan penafsiran terkait peraturan baik secara teologis, interpretasi sistematis, dan interpretasi historis. Kedua melakukan kontekstualisasi, yang salah satunya dengan melakukan pelacakan terkait rekam jejak orang tua, termasuk moralitas orang tua dan siapa yang memiliki kesempatan untuk mengasuh anak. Ketiga, menentukan siapa yang memungkinkan untuk mengasuh bedasarkan kepentingan terbaik untuk anak.

 

Peserta lain, YM Hakim Sugiri Permana, mengatakan bahwa terjadi pergeseran hukum terkait hak asuh anak. Awalnya hanya terdapat jenis pengasuhan tunggal, namunkemudian muncul model pengasuhan bersama (join custody), dan model share custody (berbagi anak dalam pengasuhan jika anak  lebih dari satu). Namun demikian, dalam putusan verstek, maka hak pengasuhan anak akan diberikan pada ibu. Ibu Arina, hakim muda, juga menyampaikan pengalamannya bahwa dalam putusan verstek jika anak berusia 12 tahun maka otomatis diserahkan pengasuhannya kepada ibu. Namun jika di atas 12 tahun, anak dihadirkan di pengadilan dan ditanya kenyamanannya dengan bahasa yang mudah dimengerti.

 

Pengalaman berbeda ditemukan oleh ibu Lise sebagai advokat. Ketika anak yang saat itu berusia 15 tahun diminta memilih, maka ia memilih ayahnya yang lebih longgar dalam pengasuhan sehingga ia bisa bebas. Dalam fakta di persidangan, ditemukan bahwa ayahnya tidak layak dalam memberikan pengasuhan baik dari sisi pendidikan maupun agama, namun hakim memberikan hak asuh pada ayah karena sesuai pilihan anak. Maka menurutnya, putusan hakim yang normatif dan positifistik, merupakan sesuatu hal yang menyedihkan.

 

Terkait perwalian, YM Hakim Hanifa menyampaikan bahwa tua otomastis menjadi wali bagi anak kandungnya. Namun ia cukup hati-hati untuk kasus perwalian ini karena adanya motif ekonomi, misalnya dalam rangka menjual asset orang tua si anak. Salah satu strateginya adalah dengan menghadirkan kakek atau nenek dari anak jika mereka masih hidup. Hal senada juga disampaikan oleh YM Ridwan Firdaus. Ia menyampaikan bahwa perwalian anak ini bersifat administratif, misalnya terkait dengan pencairan asuransi dan deposito. Untuk perwalian yang diajukan oleh bukan orang tua, maka terdapat amar putusan bahwa pengadilan menetapkan pada wali untuk melaporkan dan mendaftarkan pada dinas terkait seperti Dinas Sosial.

 

Hal menarik juga disampaikan oleh Dr. Tsalis, seorang advokat, terkait Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam terkait diksi Mumayyiz ATAU belum berumur 12 tahun. Ia menganggap untuk perlu memaknai ulang terkait kata mumayyiz yang belum tentu secara pasti berusia 12 tahun. Menurutnya, perlu adanya pembuktian apakah anak itu mumayyiz atau tidak, sehingga indikatornya jelas. Dia memaparkan perlunya memisahkan antara gugatan hak asuh dengan perceraian. Dia memilih untuk tidak melibatkan anak pada dalam sengketa perceraian.

 

Agama bukan Faktor utama Penentuan Hak Asuh

YM Hakim Latifah Setyowati mengungkapkan bahwa penentian hak asuh anak tidak boleh ex oficio jika yang diajukan hanya gugatan cerai. Namun jika ada gugatan hadhanah, maka bisa ex oficio terkait nafkah anak.  Terkait perbedaan agama orang tua, Ia pernah melakukan putusan yang memberikan hak asuh anak kepada orang tua yang non muslim. Putusan ini diambil karena anak-anak terbukti lebih dekat dengan ibu yang pindah agama menjadi Katolik, sedangkan ayahnya yang muslim tidak berperilaku baik. Dalam pandangan hakim, jika anak diasuh oleh ayahnya, akan menimbulkan madharat bagi anak. Maka dalam hal ini, hakim tidak lagi mengutamakan agama orang tua, namun lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

 

 

Inkonsistensi Antara Mediasi dan Putusan Hakim

Sebagai mediator, Ibu Fitriani Zein menemukan adanya ketidak sesuaian antara mediasi dengan pertimbangan hakim. Dia pernah menangani kasus perceraian karena praduga istri pindah agama meski pun dalam hal ini istri tidak mengakui. Dia mengusulkan supaya hak asuh diberikan kepada ayah meskipun secara ekonomi lemah jika dibandingkan dengan Sang ibu, dan hal ini disepakati dalam mediasi. Namun kesepakatan berubah ketika di ruang sidang, dimana istri meminta hak asuh atas anaknya, dan hakim akhirnya memutuskan hak asuh kepada istri. Hal seperti ini menurutnya sering berulang, sehingga perlu mempertanyakan kembali legitimasi dari hasil mediasi.

 

Diskusi ini berakhir dengan closing statement  dari direktur ISLaMS, Prof Euis Nurlaelawati. Ia menggarisbawahi beberapa isu menarik yang muncul dari pengalaman para peserta, dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi semua pihak, baik hakim, mediator maupun lawyer. Ia berharap, masukan lain dari para pihak untuk bisa disampaikan secara tulisan. Acara selesai tepat waktu dan semua peserta menyampaikan apresiasinya pada acara FGD kali ini.