logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Catatan Atas Tren Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Lingkungan Peradilan Agama

Catatan Atas Tren Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Lingkungan Peradilan Agama

Oleh Muhamad Isna Wahyudi, S.H.I., M.S.I.*)

Sejak pertengahan Juni 2021, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah mengeluarkan kebijakan terkait jaminan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian melalui surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1960/DJA/HK.00/6/2021 tanggal 18 Juni 2021 dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 1959 tanggal 25 Juni 2021 tentang Pemberlakuan Ringkasan Kebijakan (Policy Brief) Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pascaperceraian.

Kebijakan tersebut mengandaikan ketersediaan informasi yang memadai terkait hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian, blangko surat gugatan yang memuat opsi terkait tuntutan akibat perceraian, yang mencakup nafkah idah, mutah, nafkah lampau/terutang, hak asuh anak, nafkah anak, dan tuntutan terkait jaminan pelaksanaan putusan di mana Penggugat meminta Majelis hakim untuk memerintahkan kepada Panitera untuk menahan akta cerai Tergugat sebelum Tergugat memenuhi tuntutan Penggugat terkait nafkah idah, mutah, dan nafkah lampau/terutang. Terkait dengan ketentuan, perlu diketahui bahwa untuk realisasi pemenuhan nafkah anak diperlukan adanya kerja sama pihak Pengadilan dengan instansi tempat kerja mantan suami melalui mekanisme pemotongan gaji mantan suami yang bekerja sebagai pegawai/karyawan. Kebijakan tersebut juga mendorong para hakim untuk menggunakan kewenangan mereka berdasarkan  jabatan (ex-officio) dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian, berpedoman pada Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pada PERMA Nomor 3 Tahun 2017, dan pada SEMA nomor 3 Tahun 2018.

Dalam konteks kebijakan ini, menarik adalah bahwa berdasarkan data dari aplikasi pendukung SIPP Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, selama 2023, dari 352.406 perkara cerai gugat yang diputus hanya 18.923 perkara yang diputus dengan pembebanan kewajiban akibat perceraian kepada pihak mantan suami (Tergugat). Ini menunjukkan bahwa hanya 5 persen dari seluruh perkara cerai gugat yang diputus memuat pembebanan kepada mantan suami kewajiban akibat perceraian, yang berupa baik nafkah idah, mutah, atau nafkah lampau, dan nafkah anak. Data ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan para hakim terhadap kebijakan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pascaperceraian dan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 cukup rendah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa kebijakan maupun ketentuan SEMA tersebut tidak dijalankan secara baik?

Perlu diketahui, seperti telah disinggung di atas, bahwa dalam peraturan perundang-undangan tidak ada norma hukum yang memberikan hak kepada istri yang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama untuk mendapatkan nafkah idah maupun mutah. Meski demikian, seorang hakim karena jabatannya (ex-officio) dapat membebankan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan nafkah idah maupun mutah kepada mantan istri berdasarkan Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Norma Pasal 41 huruf c tersebut, jika dikaji, merupakan bentuk kompromi antara hukum perdata Barat (KUH Perdata) dan hukum Islam.

Dalam KUH Perdata tunjangan nafkah pasca perceraian diatur dalam Pasal 225 yang menyatakan bahwa bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan bercerai, tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup bagi pihak tersebut, baik suami atau istri, dari harta pihak yang lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal 227, kewajiban untuk memberi tunjangan hidup tersebut berlangsung sampai dengan kematian mantan suami atau istri. Namun demikian, berdasarkan Pasal 329b, penetapan mengenai tunjangan nafkah tersebut dapat diubah atau dicabut oleh hakim.

Ketentuan yang termuat dalam KUH Perdata tampaknya diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 41 huruf c disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Namun demikian, ketentuan Pasal 41 huruf c tersebut juga mengakomodir ketentuan dalam hukum Islam, dalam mana hanya suami yang memiliki kewajiban untuk memberikan tunjangan pasca perceraian kepada mantan istri. Dalam hukum Islam, tunjangan nafkah pasca perceraian hanya diberikan kepada kaum perempuan, yang mencakup nafkah idah dan mutah. Nafkah idah hanya diberikan selama mantan istri melaksanakan masa tunggu, yang berlangsung kurang lebih tiga bulan. Sementara mutah, sebagai pemberian pelipur lara, hanya sekali diberikan. Pembebanan nafkah idah dan mutah kepada suami ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149 dan 158. Nafkah idah wajib diberikan oleh suami kecuali istri dianggap melakukan nusyuz atau dijatuhi talak ba’in dengan kondisi tidak sedang hamil. Sedangkan mutah wajib diberikan oleh suami apabila istri telah dicampuri, tetapi belum ditetapkan mahar, dan apabila perceraian atas kehendak suami.

Dengan demikian, baik hukum Islam maupun hukum Barat (KUH Perdata) mengatur tentang tunjangan nafkah pasca perceraian, dengan ketentuan yang berbeda. KUH Perdata tidak membedakan jenis kelamin dalam hal menentukan siapa yang wajib memberikan tunjangan nafkah pasca perceraian terhadap mantan pasangan, tetapi mendasarkan kepada fakta tentang siapa yang lebih mampu dalam hal keuangan, dan menetapkan jangka waktu pemberian tunjangan nafkah yang relatif lebih lama. Ketentuan KUH Perdata ini sering menimbulkan persoalan, karena dengan perceraian, maka tidak ada lagi hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban antara mantan pasangan. Sementara, dalam hukum Islam hanya suami yang memiliki kewajiban untuk memberikan tunjangan nafkah pasca perceraian, dan kewajiban tersebut muncul dalam perceraian yang dikehendaki oleh suami (cerai talak). Kaitannya dengan periode pembebanan,  dalam hukum Islam nafkah idah  hanya diberikan selama tiga bulan. Periode ini dinilai terlalu singkat, dan mengakibatkan para perempuan memperjuangkan untuk mendapatkan mutah dengan jumlah yang besar. Ini terutama terjadi di negara-negara muslim yang tidak mengakui secara hukum secara langsung (by law) adanya harta bersama dalam perkawinan.

Perbedaan konstruksi hukum Barat dengan hukum Islam di atas sangat dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat di mana hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Masyarakat Barat dengan sistem kekerabatan bilateral, mengakui kesetaraan antara suami dan istri. Sementara masyarakat Muslim di tempat di mana al-Qur’an diturunkan, mengikuti sistem kekerabatan patrilineal yang melahirkan budaya patriarkal, dalam mana hubungan antara suami dan istri lebih bersifat hierarkis, dan di mana suami memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding istri.

Kita kembali pada ketentuan Pasal 41 huruf c. Untuk memberikan perlindungan terhadap istri, Hakim karena jabatannya dapat membebankan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan nafkah idah, mutah, dan nafkah anak kepada mantan istri (dalam hal anak diasuh oleh mantan istri), bahkan ketika pihak istri tidak mengajukan tuntutan dalam perkara cerai talak. Demi perlindungan kepada istri, begitu juga dalam perkara cerai gugat, hakim karena jabatannya (ex-officio) dapat membebankan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan nafkah idah dan mutah. Pembebanan ini didasarkan pada hasil rapat pleno Kamar Agama Mahkamah Agung RI yang dituangkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa dalam perkara cerai gugat istri dapat diberikan mutah dan nafkah idah sepanjang ia atau mereka tidak dipandang melakukan nusyuz.             

Namun, perlu disampaikan bahwa, meskipun ketentuan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 memberikan kebebasan bagi hakim untuk menggunakan kewenangan jabatannya (ex-officio), ini tidak berarti bahwa secara hukum pihak istri memiliki hak untuk menuntut nafkah idah dan mutah kepada suami dalam perkara cerai gugat. Artinya, hal atau isu ini lebih menjadi kewenangan hakim sepenuhnya untuk memilih membebankan atau tidak membebankan kewajiban nafkah idah dan mutah kepada mantan suami. Dengan demikian, ketika dalam surat gugatan pihak istri mengajukan tuntutan atas nafkah idah dan mutah (sebagaimana opsi dalam blangko surat gugatan dalam lampiran Surat Dirjen Badilag Nomor 1960/DJA/HK.00/6/2021 tanggal 18 Juni 2021), gugatan yang demikian tidak berdasarkan hukum dan dapat dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam hal ini tampak pengaruh dari hukum perdata Barat terkait tunjangan pasca perceraian (alimony) yang memungkinkan pasangan untuk menuntut kepada pasangan yang lain dalam setiap perkara perceraian, terlepas siapa yang mengajukan gugatan perceraian. Konstruksi hukum yang demikian berbeda dengan konstruksi hukum perceraian dalam hukum Islam dalam mana masih terdapat perbedaan antara cerai talak dan cerai gugat. Tanpa disadari, terdapat norma hukum dari negara lain - seperti Australia misalnya yang selama ini menjalin kerja sama dengan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama - yang diimpor untuk diterapkan dalam hukum Islam di Indonesia.

Selain norma hukum tentang hak pasangan untuk menuntut tunjangan pasca perceraian dari pasangan lainnya, juga terdapat norma hukum lain yaitu terkait masa perpisahan antara suami dan istri sebagai syarat untuk dapat bercerai. Di Australia, syarat untuk bisa mengajukan gugatan cerai kepada hakim adalah pasangan suami istri telah hidup terpisah selama 12 bulan, dan selama masa berpisah 12 bulan tidak boleh ada hubungan emosional apapun. Norma hukum yang demikian tampaknya diakomodir dalam ketentuan SEMA Nomor 1 Tahun 2022 huruf C Rumusan Hukum Kamar Agama angka 1 (b)  sebagai berikut: “Dalam upaya mempertahankan suatu perkawinan dan memenuhi prinsip mempersukar perceraian maka: 1) perkara perceraian dengan alasan suami/istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, hanya dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri tidak melaksanakan kewajibannya setelah minimal 12 (dua belas) bulan.”

Dari dua contoh di atas, maka terdapat indikasi bahwa ada kecenderungan untuk mengimpor norma hukum negara lain untuk diterapkan kepada masyarakat Muslim di Indonesia. Kecenderungan yang demikian patut diperhatikan karena terdapat adagium yang dipopulerkan oleh Cicero (106-43 SM), seorang filosof dan ahli hukum asal Romawi, “ubi societas ibi ius,” di mana ada masyarakat di situ ada hukum yang berarti pula setiap masyarakat memiliki cara-cara berhukum sendiri yang tidak dapat dipaksakan begitu saja dari dan oleh sebuah bangsa. Selain itu, Robert B. Seidman mengajukan sebuah dalil yang berbunyi “the law of non-transferability of law” yang berarti bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Barat memiliki hukum dan cara berhukum sendiri, Timur demikian pula memiliki hukum dan cara berhukum tersendiri. Persoalannya akan muncul ketika hukum Barat diberlakukan di dalam masyarakat dunia Timur, atau sebaliknya. Tidak akan muncul cara yang sama dan akibat yang sama pemberlakuan hukum Barat di dunia Timur sebagaimana berlaku di negara asalnya yaitu Barat. Hal ini karena setiap sistem hukum memiliki struktur sosial sendiri sehingga sangat logis apabila Timur memiliki cara berhukum tersendiri meskipun yang sedang digunakan adalah hukum Barat (Suteki, 2023: 93-4).

Banyak penelitian membuktikan bahwa meskipun beberapa bagian dari bangsa Timur telah menjadi kebarat-baratan, tetapi secara esensial mereka tetap menggunakan cara ketimuran dalam menyikapi kehidupan yang muncul sebagai kearifan-kearifan lokal dalam menyelesaikan problematika hidup, baik privat atau pun publik. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat di dunia Timur (oriental) memiliki karakter oriental dalam menyelesaikan konflik dengan mengutamakan musyawarah (Suteki, 2023: 99).

Berdasarkan pengalaman penulis ketika bertugas di Pengadilan Agama Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan tahun 2021 sampai 2022, tren yang berkembang pasca kebijakan terkait jaminan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian adalah bahwa tidak semua istri yang mengajukan gugatan perceraian juga mau menuntut hak-hak pasca perceraian terkait nafkah idah dan mutah, dan tetapi mereka lebih menekankan pada tuntutan terkait hak asuh anak dan nafkah anak. Bahkan dalam beberapa kasus, pihak istri melakukan pencabutan terhadap tuntutan hak-hak pasca perceraian terkait nafkah idah dan mutah di dalam persidangan. Tren yang demikian diduga kuat karena pihak istri tidak ingin menimbulkan masalah baru pasca perceraian dengan suaminya karena alasan perceraian terkait masalah ekonomi, yaitu suami yang tidak mampu memberikan nafkah. Ini juga secara tidak langsung bahwa di balik ketidakhadiran pihak Tergugat telah terdapat kesepakatan di antara mereka untuk bercerai, meski tidak ada kesepakatan terkait hak-hak pasca perceraian. Faktanya, hanya beberapa bulan setelah terbitnya kebijakan jumlah perkara cerai gugat yang digabung dengan tuntutan nafkah idah dan mutah menunjukkan peningkatan, dan jumlah perkara demikian tersebut selanjutnya menurun kembali.

Budaya hukum yang berlaku di masyarakat, orang tua dan keluarga dari pihak mantan istri secara gotong-royong biasanya membantu memenuhi kebutuhan hidup mantan istri tersebut tanpa harus meminta kepada mantan suami. Sikap yang demikian ini menunjukkan bagaimana cara berhukum masyarakat dengan karakter oriental seperti Indonesia yang lebih mengutamakan kolektivisme (kebersamaan) sehingga tidak dapat dipaksakan untuk menuntut nafkah idah dan mutah dalam perkara cerai gugat.

Cara berhukum yang demikian dapat menjelaskan data di awal tulisan ini yang menunjukkan bahwa hanya 5 persen dari seluruh perkara cerai gugat yang diputus di 2023 memuat pembebanan kewajiban akibat perceraian kepada mantan suami. Ini juga mungkin menjelaskan mengapa kebijakan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama tentang Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca perceraian dan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 tidak  berlaku secara baik. Dalam hal ini, sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat banyak menentukan pelaksanaan hukum positif dan bekerjanya hukum secara signifikan di masyarakat (Djatmiko, 2021: 10). Budaya hukum –sikap dan nilai yang dianut oleh masyarakat baik terhadap hukum maupun sistem hukum- yang berbeda akan berdampak pada penegakan hukum yang berbeda, termasuk metode penegakan hukumnya (Djatmiko, 2021: 79). 

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, peran pemerintah dalam memberikan dukungan finansial kepada para janda dan anak juga sangat penting. Hal demikian karena sebagian besar perkara perceraian diajukan oleh para pihak yang berasal dari kalangan menengah ke bawah dan faktor ekonomi masih menjadi faktor penyebab perceraian yang paling dominan. Pembaruan hukum keluarga Islam di Indonesia, bagaimanapun, tetap harus memperhatikan struktur sosial –sistem perangkat nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta sikap-sikap maupun pola hubungan di antara para anggota masyarakat- masyarakat di Indonesia dan cara berhukum mereka sehingga pembaharuan tersebut tidak bersifat “a historis” dan mengalami “alienasi” dengan masyarakatnya sendiri. Adanya kesenjangan yang cukup jauh antara “das sollen” dengan “das sein” dalam penegakan hukum salah satunya disebabkan karena hukum di Indonesia sebagian besar diimpor dari luar negeri (Suteki, 2023: VI). Selain itu, adanya upaya untuk mengasingkan pranata hukum kebiasaan dalam pembangunan hukum di Indonesia juga akan membuat kesenjangan hukum (legal gap) semakin lebar (Djatmiko, 2021: 68).

*) Penulis adalah Ketua Pengadilan Agama Banyumas Kelas IB, alumni Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Daftar Pustaka :

Djatmiko, Wahju Prijo. Budaya Hukum dalam Masyarakat Pluralistik. Cet. I. Yogyakarta: Thafa Media, 2021.

Suteki. Hukum, Moral, dan Agama. Cet. I. Yogyakarta: Thafa Media, 2023.