
REFORMASI HUKUM ISLAM: MENGHADAPI TANTANGAN ERA SOCIETY 5.0
Yogyakarta, 30 Oktober 2024 – Forum Mahasiswa Magister (Formaster) Program Studi Magister Ilmu Syariah (MIS) menggelar The 3rd Annual National Conference on Islamic Law yang diselenggarakan di Ruang Theater lantai 4, Gedung Kuliah Terpadu. Konferensi yang mengusung tajuk “Reformasi Hukum Islam: Menghadapi Tantangan Era Society 5.0” ini menghadirkan para ahli dan akademisi hukum Islam untuk bersama-sama membahas kebutuhan dan tantangan reformasi hukum Islam dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks.
Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A., Direktur Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) merupakan salah satu narasumber ahli yang turut mengisi kegiatan akademik tersebut. Prof. Euis, sebagai pakar dalam bidang hukum keluarga Islam, membawakan materi tentang “Perempuan dalam Hukum Keluarga Islam: Terobosan dan Tantangan untuk Kesetaraan dalam Norma dan Praktik.” Dalam pemaparannya, dengan pendekatan kesetaraan gender (gender equality), Prof. Euis menyoroti permasalahan norma-norma dalam KHI yang kental nuansa fikih klasiknya dengan upaya perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan pergeseran sosial akibat era Society 5.0.
“Di era digital, kita tidak hanya berhadapan dengan tantangan teknis seperti integrasi teknologi, tetapi juga dengan perubahan nilai dan norma sosial yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap hukum Islam, khususnya tentang menguatnya sensitivitas gender yang terus meningkat,” ungkap Prof. Euis. Menurutnya, salah satu tantangan besar adalah bagaimana hukum keluarga Islam dapat tetap relevan dan adaptif dalam menyikapi persoalan-persoalan keadilan gender yang muncul di tengah sebaran informasi dan interaksi yang serba digital.
Prof. Euis menegaskan bahwa era teknologi turut memengaruhi pandangan masyarakat terhadap realisasi keadilan terhadap wanita dalam keluarga. Ia menyampaikan bahwa digitalisasi menghadirkan berbagai tantangan yang memengaruhi pola interaksi dan komunikasi keluarga, di satu sisi, dan kemampuan para hakim dalam menggunakan kewenangan mereka berkenaan dengan sensitivitas gender. “Kita perlu melakukan reformasi dalam cara pandang terhadap hukum keluarga Islam agar tidak hanya memenuhi kebutuhan hukum formal tetapi juga peduli dengan etika sosial tentang bagiamana memosisikan perempuan di era digital,” lanjutnya.
Lebih jauh, Prof. Euis juga memaparkan bahwa di era digital society, yang ditandai oleh integrasi kecerdasan buatan dan pemanfaatan kemajuan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, kehadiran hakim wanita menjadi simbol perubahan signifikan dalam sistem peradilan yang semakin sensitif terhadap isu-isu gender. Menurut Prof. Euis, hakim perempuan membawa perspektif berbeda yang berpotensi memperkuat perlindungan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya di pengadilan. Mereka lebih mungkin memiliki pemahaman mendalam mengenai tantangan-tantangan yang sering dihadapi perempuan dalam masyarakat, termasuk masalah diskriminasi, kekerasan berbasis gender, dan ketidaksetaraan ekonomi. “Kehadiran para hakim perempun tidak hanya memberikan warna baru dalam representasi keadilan, tetapi juga menciptakan ruang bagi pengembangan sensitivitas gender dalam proses hukum,” tegas Prof. Euis.
Hal-hal di atas, dalam pandangan Prof. Euis, semakin relevan di era kontemporer, di mana data dan analitik digital dapat membantu memperlihatkan pola ketidakadilan yang sering kali tersembunyi. Namun, tantangan juga muncul, terutama terkait dengan penerapan teknologi yang adil dan tidak bias gender. “Para hakim wanita, melalui kepekaan dan pemahaman mereka, berperan penting dalam memastikan bahwa teknologi yang digunakan di pengadilan tidak memperkuat stereotip atau bias gender. Dengan demikian, kehadiran mereka memperkaya sistem peradilan dengan perspektif yang inklusif dan adaptif, selaras dengan semangat era Society 5.0 yang mengutamakan keadilan berbasis data dan kesetaraan hak bagi semua pihak,” pungkas Prof. Euis.
Konferensi nasional ini dibuka secara langsung oleh Prof. Dr. Noorhaidi, M.A., M. Phil., Ph.D., selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang juga merupakan Dewan Pakar/Penasehat ISLaMS. Dalam sambutannya, Prof. Noorhaidi menyampaikan bahwa Society 5.0 merupakan sebuah era di mana teknologi canggih, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan big data, berperan besar dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, menurut Prof. Noorhaidi, menimbulkan tantangan tersendiri bagi para sarjana hukum Islam untuk mempertimbangkan aspek-aspek etika, privasi, serta prinsip-prinsip Islam dalam penggunaan teknologi. “Society 5.0 memberikan peluang besar, namun juga tantangan berat bagi penerapan dan pengembangan hukum Islam. Era digital ini menuntut hukum Islam untuk tidak hanya adaptif, tetapi juga mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Reformasi hukum Islam bukan hanya soal pembaharuan teks, tetapi juga pemahaman yang kontekstual sesuai perubahan zaman dan kecanggihan teknologi,” ujar Prof. Noorhaidi.
Selain memberikan apresiasi yang tinggi, Prof. Noorhaidi juga menyampaikan harapannya bahwa diskusi ini dapat menghasilkan rekomendasi yang konkret bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia. “Kami berharap bahwa hasil dari konferensi ini tidak hanya bermanfaat bagi akademisi, praktisi maupun para mahasiswa, tetapi juga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kebijakan publik yang lebih relevan di masa mendatang,” tutup Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dengan turut terlibatnya para ahli, akademisi, ratusan mahasiswa dari kampus-kampus berbeda dalam diskusi yang konstruktif, The 3rd Annual National Conference on Islamic Law diharapkan dapat mendorong reformasi hukum Islam yang progresif dan mampu menjawab tantangan di era Society 5.0, menjadikan hukum Islam di Indonesia lebih adaptif, responsif, dan inklusif.