Advokasi dan Konflik Harta Bersama: Sekelumit Catatan Hukum sebagai Saksi Ahli di PA Bantul (Part 1)

Dalam beberapa tahun terakhir, kesaksian ahli semakin sering digunakan di Pengadilan Agama untuk memberikan perspektif hukum dari akademisi dan profesional terkait. Hakim, pihak berperkara, dan pengacara kerap membutuhkan pandangan ahli guna memperkuat pemahaman dan argumen hukum mereka. Saya beberapa kali diminta memberikan kesaksian, termasuk dalam perkara harta bersama di Bantul. Tulisan ini merangkum catatan saya mengenai kesaksian tersebut, mencakup deskripsi perkara, signifikansi hukum harta bersama, interpretasi hukum, serta respons hakim. Paparan ahli terbukti penting dalam advokasi penyelesaian perkara, meskipun tidak mengikat. Dalam banyak kasus, pandangan ahli menjadi referensi bagi hakim, terutama dalam perkara kompleks yang menyangkut perlindungan perempuan dan anak.
Sekilas Deskripsi Perkara
Berdasarkan deskripsi kasus dalam pengajuan gugatan oleh pihak istri, digambarkan bahwa pasangan suami istri telah menikah selama puluhan tahun dan mempunyai anak yang sudah dewasa. Istri bekerja sebagai salah satu pimpinan di Rumah Sakit ternama di Jogja, dan suami bekerja sebagai tenaga medis di salah satu Rumah Sakit lain di Jogja. Istri mengajukan gugat cerai karena perselingkuhan atau pernikahan siri suami yang ketiga kali. Tidak ada perselisihan terkait harta bersama dalam proses persidangan perceraian, dan tetapi pasangan menyepakati bahwa harta bersama dibagi 3, untuk istri, suami, dan anak.
Namun, dalam perjalanan waktu suami berubah pikiran dan menginginkan pembagian yang sama baginya dan mantan istri. Istri berkeberatan dan suami kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan untuknya mendapatkan bagian yang sama. Istri mengajukan keberatan dengan berbagai argumen dan alasan, termasuk alasan perselingkuhan suami, kontribusi istri yang besar bahkan lebih besar dari kontribusi suami terhadap harta bersama, dan pelaksanaan tugas-tugas domestik yang secara dominan dilakukan oleh istri. Istri menganggap pembagian sama merupakan pembagian yang tidak adil dalam konteks perkara mereka ini.
Untuk memperkuat alasan keberatannya, istri melalui pengacaranya meminta dukungan saksi ahli yang kemudian disampaikan kepada majlis hakim dan disetujui. Istri berharap bahwa kesaksian atau pandangan ahli dapat memperkuat argumennya dalam penyelesaian perkara harta bersama ini. Mereka mengajukan permohonan kepada saya untuk menjadi saksi ahli dan untik memberikan pandangan saya terkait dengan ketentuan harta bersama yang dikaitkan dengan perkaranya. Saya memenuhi permintaan tersebut, dan menyiapkan diri untuk menyampaikan pemahaman saya terkait ketentuan harta bersama terutama rasionalisasi pengaturannya dalam UU Perkawinan No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1/1991) dan hasil kajian katannya dengan sikap hukum hakim dan refleksi atas perkara-perkara yang selama ini diajukan ke Pengadilan Agama.
Signifikansi dan Argumen Ketentuan Hukum Harta Bersama
Saya memulai paparan di hadapan majlis persidangan Pengadilan Agama Bantul dengan mengetengahkan latar belakang atau signifikansi pengaturan hukum harta bersama dalam pernikahan. Beberapa fokus, yaitu pandangan hukum terkait dengan pemenuhan kewajiban suami dan konsep harta dalam pernikahan dalam perspektof fikih, kondisi lokal masyarakat Indonesia terkait dengan pemenuhan ekonomi keluarga, dan argumen jender kaitannya dengan pembagian harta yang diperoleh dalam masa pernikahan, disajkan di hadapan majlis hakim.
1. Ketentuan hukum harta dalam pernikahan
Saya menyampaikan bahwa sebagaimana diketahui bahwa harta bersama diatur secara hukum di dalam UU Perkawinan No. 1/ 1974 dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37. Ketentuan hukum ini dipertegas di dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya KHI) dalam pasal 85 sd 97. Yang paling penting adalah ketentuan yang mengatur bahwa bubarnya perkawinan mengakibatkan pembagian harta bersama yang sama. Jika perkawinan berakhir dengan perceraian, perempuan memiliki hak yang sama seperti laki-laki terhadap harta yang mereka peroleh melalui upaya bersama mereka selama perkawinan dengan separuh bagian untuk masing-masing. Demikian pula, ketika perkawinan berakhir dengan matinya salah satu pihak, maka pihak yang masih hidup memiliki hak separuh harta, dan separuh lainnya menjadi warisan dari pihak yang meninggal. Ketentuan ini bersifat nasional dan berlaku bagi semua warga negara Indonesia, dan ketentuan ini menjadi sebuah ketentuan hukum Islam.
2. Ide Pengaturan Harta Bersama: Argumen Lokalitas dan Keadilan Gender
Saya juga memaparkan bahwa konsep harta bersama dalam hukum perkawinan didasarkan pada dua pemahaman utama. Pertama, dalam fiqh klasik, tidak ada aturan mengenai harta bersama, dan suami dianggap sebagai pencari nafkah utama. Akibatnya, harta yang diperoleh selama pernikahan sering kali dianggap milik suami, sementara kontribusi istri, terutama dalam ranah domestik tidak diakui sebagai bagian dari penciptaan harta. Pandangan ini menimbulkan ketidakadilan ketika pernikahan berakhir melalui perceraian atau kematian, karena istri sering kali tidak mendapatkan bagian yang setimpal. Kedua, dalam masyarakat Muslim tertentu, istri tidak hanya mengurus rumah tangga tetapi juga berkontribusi secara ekonomi. Di Indonesia, meskipun suami secara normatif dianggap sebagai kepala keluarga, realitasnya banyak perempuan bekerja di luar rumah. Di Solo, misalnya, perempuan berperan aktif dalam industri rumahan seperti membatik, di mana mereka tidak hanya membantu produksi tetapi juga mengelola keuangan dan pemasaran. Di daerah lain, perempuan bekerja di ladang, pasar, atau sektor informal untuk memperoleh penghasilan.
Saya menekankan bahwa dengan mempertimbangkan realitas sosial ini, tidak adil jika hanya suami yang memiliki hak penuh atas harta yang dikumpulkan selama pernikahan. Oleh karena itu, hukum di Indonesia mengakomodasi konsep harta bersama sebagai pengakuan terhadap kontribusi istri, baik dalam maupun di luar rumah, dengan memasukkannya dalam peraturan perundangan yang berlaku.
3. Legitimasi dalam Fiqh Klasik: Perluasan Konsep Syirkah
Kemudian saya menjelaskan bahwa untuk memberikan legitimasi dalam kerangka hukum Islam, para ulama mencoba mengaitkan konsep harta bersama dengan doktrin fiqh klasik, meskipun secara eksplisit konsep ini tidak dibahas dalam kitab-kitab fikih. Beberapa sarjana Muslim mengusulkan bahwa dasar hukum bagi pembauran harta dalam pernikahan dapat ditemukan dalam konsep syirkah (kerja sama atau kemitraan).
Syirkah secara umum merujuk pada kerja sama antara dua pihak dalam kepemilikan atau usaha bersama. Dalam fikih, syirkah terbagi menjadi dua bentuk utama:
1). Syirkat al-amlâk (kerja sama dalam kepemilikan) – terjadi ketika dua pihak memiliki kepemilikan bersama atas suatu aset atau sumber daya.
2). Syirkat al-‘uqûd (kerja sama berbasis kontrak) – terjadi melalui perjanjian kerja sama dalam bisnis atau usaha.
Harta bersama dalam pernikahan lebih dekat dengan konsep syirkat al-amlâk, karena keduanya melibatkan kepemilikan bersama tanpa memerlukan kontrak bisnis formal. Perbedaannya adalah bahwa harta bersama dalam perkawinan lebih bersifat sosial daripada bisnis, namun prinsip dasarnya tetap sama: kedua pihak memiliki hak dan tanggung jawab atas harta yang dihasilkan.
Dalam konteks perkawinan, meskipun istri tidak secara langsung mencari nafkah, kontribusinya dalam mengurus rumah tangga dan mendukung suami dianggap sebagai bentuk kerja sama dalam memperoleh harta. Oleh karena itu, beberapa ulama berpendapat bahwa tanpa perlu ada kesepakatan eksplisit, harta yang diperoleh selama pernikahan secara otomatis menjadi milik bersama suami dan istri. Pendapat ini semakin kuat di Indonesia, di mana perempuan sudah terbiasa bekerja dan memiliki andil dalam ekonomi keluarga, sehingga sulit untuk mengabaikan peran mereka dalam penciptaan harta selama pernikahan.