logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Mencermati Norma dan Praktik Hakim Peradilan Agama dalam Penetapan Nafkah Anak Pasca Perceraian

Mencermati Norma dan Praktik Hakim Peradilan Agama dalam Penetapan Nafkah Anak Pasca Perceraian

Pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan pada Selasa, 24 Juni 2025, bertempat di Shapir Hotel Yogyakarta, Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) dan Universitas Oslo menggelar diskusi reflektif. Kegiatan ini merupakan bagian dari tahun kedua riset bertajuk “Improving Legal Awareness on Children Rights among Islamic Courts’ Judges in Indonesia: Reviews on Legal Norms and Practices in the Perspective of Financial Welfare.”

Diskusi ini menghadirkan para hakim Peradilan Agama dari wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta advokat dan mediator, sebagai responden utama untuk memetakan pemahaman dan praktik hukum terkait nafkah anak pasca-perceraian dan kasus poligami.

Prinsip dan Dasar Hukum Pemenuhan Hak Finansial Anak
Secara prinsipil, pemenuhan nafkah anak dalam perceraian merupakan amanat konstitusional dan syar’i. Prinsip perlindungan anak berakar pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Dalam perspektif hukum Islam, kewajiban ayah untuk memberi nafkah tetap melekat sekalipun terjadi perceraian.

Secara normatif, ketentuan ini dijabarkan dalam Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 149 huruf d dan Pasal 156 huruf c Kompilasi Hukum Islam, serta diperkuat melalui Pasal 26 dan 45 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Mahkamah Agung juga telah menerbitkan SEMA No. 3 Tahun 2018 dan PERMA No. 3 Tahun 2017 yang memberikan pedoman kepada hakim agar dalam mempertimbangkan nafkah anak tetap mengacu pada asas kepatutan, kemampuan ayah, serta kepentingan terbaik anak.

Refleksi Praktik Hakim: Pemetaan Awal
Para hakim, pengacara, dan mediator yang hadir dalam FGD membagikan perspektif dan pengalaman mereka dalam upaya pemenuhan hak anak, khususnya terkait kesejahteraan finansial dalam kasus perceraian. Beragam praktik dalam penetapan jumlah atau besaran nafkah anak pun mengemuka.
Hakim AN, misalnya, menyampaikan bahwa selama ini belum ada standar baku dalam penetapan besaran nafkah anak. Namun, ia mulai merujuk pada pendekatan jurumetri untuk menghitung kebutuhan anak secara rasional dan berbasis pendapatan orang tua.

Terkait jenis kebutuhan yang harus dicakup, para hakim umumnya sepakat. Namun, beberapa memperdebatkan apakah kebutuhan pendidikan dan kesehatan perlu dipisahkan dari nafkah anak yang dihitung dan disebutkan secara eksplisit dalam putusan. YF dan AD, misalnya, menegaskan bahwa perhitungan nafkah harus mencakup biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan tambahan lain, dengan rincian yang jelas. Pandangan ini memperkuat urgensi adanya kejelasan metode penghitungan nafkah.

Hakim lainnya, AHS, menyoroti adanya kontradiksi dalam gugatan, yang menyebabkan pemenuhan tidak bisa dilakukan. Misalnya, istri menggugat cerai karena tidak diberi nafkah tetapi menuntut nafkah anak dan nafkah iddah yang terlalu besar. Kontradiksi juga muncul saat pembuktian kemampuan ekonomi tergugat sulit dilakukan, sementara besaran nafkah yang diminta sangat tinggi. Dalam konteks ini, ia menegaskan pentingnya pendekatan moral-spiritual dalam penetapan mut’ah dan iddah.

Tantangan dan Kendala
Selain isu kontradiksi di atas, kendala utama menurut para hakim terletak pada tahapan eksekusi. MAR dan AE menyebut bahwa keterbatasan regulasi eksekusi perdata menyebabkan banyak putusan terkait nafkah anak sulit untuk dijalankan. Hal ini dipertegas oleh ABK, seorang advokat dari ABK Law Office, yang juga menambahkan bahwa masalah psikologis anak dan konflik antar orang tua juga sering menghambat proses pemenuhan nafkah. ABK menyoroti kurangnya standar pembuktian kemampuan finansial tergugat serta lemahnya posisi hakim yang pasif dalam sistem perdata.
Beberapa hakim dan mediator, seperti MH dan LM, menyoroti problem yuridis mendasar yaitu absennya peraturan khusus terkait eksekusi nafkah anak dan mendorong agar mediasi lebih difungsikan untuk mencapai kesepakatan yang mengikat.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari temuan ini terlihat bahwa pemahaman dan praktik hakim dalam penetapan nafkah anak beragam sesuai dengan kondisi dan kemampuan pihak suami atau ayah dan kesadaran hukum para pihak. Permasalahan lain terletak pada absennya panduan penghitungan yang terukur serta belum optimalnya mekanisme eksekusi putusan. Oleh karena itu, penting untuk kita mendorong:

  1. Penyusunan panduan nasional tentang standar minimal nafkah anak per provinsi, berbasis indeks kebutuhan anak;
  2. Penyusunan PERMA baru yang mengatur eksekusi khusus terhadap nafkah anak sebagai hak fundamental; dan,
  3. Upaya Kerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Perusahaan-perusahaan, dan lembaga-lembaga keuangan.

Tanpa upaya perbaikan sistemik, hak nafkah anak akan terus menjadi bagian dari “putusan simbolik” yang tidak sepenuhnya menjamin kesejahteraan anak pasca-perceraian. Saatnya sistem hukum memberikan kepastian bagi anak-anak Indonesia melalui perangkat regulasi yang responsif dan berpihak kepada masa depan mereka.

Penulis: Nurainun Mangunsong
Editor: Euis Nurlaelawati