Advokasi dan Konflik Harta Bersama: Sekelumit Catatan Hukum sebagai Saksi Ahli di PA Bantul (Part 2)

Interpretasi Ulang atas Ketentuan Harta Bersama
Ssesuai dengan pertanyaan majlis hakim saya kemudian memaparkan makna ketentuan hukum harta bersama serta perlunya interpretasi ulang agar tetap relevan dan tidak kehilangan esensinya. Hal ini saya sampaikan sebagai respons terhadap pertanyaan majelis hakim mengenai relevansi aturan hukum dengan perkara yang disidangkan. Saya menegaskan bahwa pemahaman terhadap konsep kesamaan dalam pembagian harta bersama harus dimaknai sebagai keadilan. Karena adil bersifat abstrak, penggunaan kata sama dianggap lebih jelas, terutama dalam konteks keadilan gender dan perlindungan perempuan.
Saya berargumen bahwa dalam praktik, besaran pembagian harta bersama harus mempertimbangkan peran masing-masing pasangan, termasuk dalam tugas domestik. Berdasarkan norma aat ini, pembagian harta tidak lagi didasarkan pada siapa yang mencari nafkah di luar rumah. Secara normatif, baik suami maupun istri memiliki hak yang sama. Namun, jika istri tidak bekerja di luar tetapi menjalankan tugas domestik sepenuhnya, maka pembagian sama tetap relevan. Jika istri bekerja di luar sekaligus bertanggung jawab atas tugas rumah tangga, perlu kajian lebih lanjut apakah pembagian sama masih adil. Sebaliknya, jika istri yang sepenuhnya menciptakan harta sementara suami tidak berkontribusi, apakah pembagian yang sama masih relevan?
Ketika pengacara pihak suami menilai argumen saya menyimpang dari norma hukum, saya menegaskan bahwa dari perspektif hukum dan keadilan gender, konsep harta bersama dalam peraturan perundangan memang bertujuan untuk mengakomodasi prinsip keadilan dalam berbagai situasi rumah tangga. Oleh karena itu, aspek peran domestik dan kontribusi ekonomi keduanya harus diperhitungkan dalam menentukan pembagian yang adil.
Peta Empiris Pasangan Konflik Harta Bersama di Pengadilan
Untuk memperkuat paparan saya secara empiris dan ilmiah, saya juga menguraikan pemahaman saya terkait dengan peta konflik harta bersama di Pengadilan Agama di Indonesia secara umum dan sikap para hakim berdasarkan penelitian saya. Dalam kajian saya, terkait dengan perkara harta bersama yang diajukan ke Pengadilan Agama, terdapat paling tidak tiga tipe perkara:
1. Tipe Pertama: Suami bekerja di luar rumah, sementara istri tidak bekerja di luar rumah, dan menjalankan tugas-tugas domestik.
2. Tipe Kedua: Suami dan istri sama-sama bekerja dengan tiga variasi:
(a) Keduanya bekerja di luar rumah dan berbagi tugas domestik.
(b) Keduanya bekerja di luar rumah, tetapi istri juga menjalankan tugas domestik tanpa bantuan suami.
(c) Keduanya bekerja di luar rumah, istri berpenghasilan lebih besar, dan tetap menjalankan tugas domestik.
3. Tipe Ketiga: Istri bekerja di luar rumah, sementara suami tidak bekerja. Tipe ini memiliki dua subkategori:
(a) Suami tidak bekerja dan tidak menjalankan tugas domestik.
(b) Suami tidak bekerja tetapi menjalankan tugas domestik.
Saya kemudian menegaskan bahwa peta di atas tersebut penting untuk dipertimbangkan dan keadaan-keadaan ini mestinya menjadi pertimbangan yang cermat dalam memberikan keputusan kaitannya dengan besaran dan jumlah pembagian terhadap para pihak supaya keadilan jender secara empiris dapat diwujudkan. Dalam konteks perkara yang sedang diselesaikan ini, saya menambahkan tanpa menunjukan kecenderungan subjektif saya sebagai saksi ahli dari pihak perempuan, tipe kedua dengan tiga turunannya menjadi relevan untuk kita cermati dan fahami dengan baik. Jika kita melihat tipe 2a, maka pembagian secara sama menjadi relevan dan searah dengan maksud hukum Islam ketentuan harta bersama. Jika kita melihat tipe 2b, pembagian secara sama mungkin kurang relevan dan kurang memberikan rasa keadilan jender, dan pembagian dengan skema berbeda menjadi pilihan untuk keadilan. Hal ini juga berlaku bagi tipe 2c, dimana pembagian sama secara normatif mungkin dianggap jauh dari keadilan jender secara empiris.
Penutup
Beberapa bulan setelah kesaksian saya di Pengadilan Agama Bantul, saya mendapat kabar bahwa majelis hakim memutuskan pembagian harta dengan memberikan 2/3 kepada istri dan 1/3 kepada suami. Putusan ini menunjukkan bahwa:
1. Majelis hakim mempertimbangkan kesaksian saya sebagai ahli.
2. Keputusan tersebut memiliki legitimasi hukum yang kuat serta mendukung prinsip keadilan gender.
3. Majelis hakim menerapkan interpretasi progresif dalam berijtihad terhadap hukum harta bersama tanpa menolak norma yang ada.
4. Advokasi melalui kesaksian ahli di Pengadilan Agama dapat berkontribusi pada realisasi keadilan, terutama dalam konteks gender.
Referensi
John R. Bowen, “Qur’an, Justice and Gender: Internal Debates in Indonesian Islamic Jurisprudence”.
Ismail Muhammad Syah, ‘Pencaharian Bersama Suami Istri di Aceh Ditinjau dari Sudut UU Perkawinan Tahun 1974 dan Hukum Islam’, Disertasi Doktor, Jakarta: Universitas Indonesia, 1984.
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat, Jakarta: INI, 1998.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Penerbit Alumni, 1980).