logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Hadir di Ruang Peradilan: Refleksi atas Kehadiran Etnografis dalam Penelitian Hukum Islam

Hadir di Ruang Peradilan: Refleksi atas Kehadiran Etnografis dalam Penelitian Hukum Islam

Suatu ketika, di satu minggu lalu, saat memasuki ruang penelitian di sebuah Pengadilan Agama, seorang hakim menyapa saya dengan pertanyaan ringan, “duduk di semester berapa sekarang?” Ia mengira saya merupakan mahasiswa. Bagi saya, pertanyaan ini bukan sekadar kekeliruan identitas; ia mencerminkan asumsi yang lebih luas bahwa peneliti senior, apalagi yang bergelar profesor, jarang hadir langsung di ruang penelitian peradilan. Dalam praktik akademik, banyak penelitian hukum mengandalkan dokumen perkara, laporan resmi, atau wawancara terjadwal. Namun, pengalaman ini mengingatkan saya akan pentingnya ethnographic presence—hadir secara fisik, menyelam ke dalam keseharian lembaga, dan mengamati dinamika yang hidup di dalamnya.

Meskipun saya agak tergagap untuk langsung menjawab, saya tentu tidak tersinggung. Hal ini dikarenakan memang di sisi kanan kami sudah duduk dua mahasiswa sebelum saya dan peneliti lain dari ISLaMS masuk ke ruangan. Meskipun saya berfikir bahwa penampilan dan performa fisik saya harusnya mengarah pada tidak mungkinnya bapak hakim berfikir saya merupakan mahasiwa, saya mencoba memahami keberadaan dua mahasiswa lain yang membawa bapak hakim menduga saya adalah bagian dari kegiatan mahasiwa tersebut—memang setelah itu saya digonjaki kawan-kawan tim dan mereka menganggap bahwa saya senang dengan sapaan dan dugaan status yang ditanyakan bapak hakim--. Bapak hakim ketua sebenarnya sudah mengetahui identitas kami karena sebelum kami memasuki ruangan kami sudah diterima terlebih dahulu di ruangan kerjanya. Namun, rupanya bapak hakim ketua belum sempat menyampaikan kehadiran dan identitas kami sebelum kami memasuki ruangan.

Kehadiran Etnografis: Data Diharapkan dan Data Penting Lain

Kehadiran langsung membuka ruang bagi penemuan yang tidak terjangkau oleh data sekunder. Kehadiran saya dan tim di Pengadilan Agama, --yang kemudian diarahkan ke 2 majlis, dengan masing-masing majlis dihadiri 2 dari tim kami dan tim lain menghadiri proses mediasi-- bertujuan untuk mengumpulkan data empiris mengenai pemenuhan hak anak secara finansial sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan, baik pada perkara perceraian—meliputi cerai gugat (perceraian yang diajukan oleh istri) maupun cerai talak (perceraian yang diajukan oleh suami)—maupun pada perkara poligami. Kehadiran ini merupakan bagian dari kegiatan observasi yang dicanangkan dan telah dilakukan di 6 Pengadilan Agama lain sebelumnya untuk penyelesaian projek tahun kedua dalam kerangka projek penelitian ISLaMS tiga tahun yang didanai oleh Oslo Coalition, Norwegian Center for Human Rights (NCHR).

Dalam perkara perceraian, fokus kami adalah menelusuri sejauh mana para hakim secara eksplisit mendiskusikan dan kemudian mencantumkan dalam diktum putusan ketentuan tentang nafkah anak, meliputi jumlah yang diberikan, kriteria dan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan besaran tersebut, serta indikator yang dipakai dalam menilai kemampuan finansial pihak yang berkewajiban.

Sedangkan dalam perkara poligami, perhatian kami tertuju pada apakah, dan sejauh mana, para hakim mempertimbangkan keberadaan serta kesejahteraan anak-anak dari perkawinan pertama ketika memberikan izin untuk melangsungkan perkawinan berikutnya, khususnya dalam rangka mengantisipasi terjaminnya kesejahteraan dan masa depan anak. Kajian ini juga mencakup analisis apakah pertimbangan hakim tersebut selaras dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagaimana diakui dalam hukum keluarga Indonesia dan prinsip-prinsip hukum Islam yang relevan.

Melalui observasi di ruang persidangan dan kemudian melalui wawancara dengan para hakim paska persidangan, kami dengan baik memperoleh data-data yang diharapkan. Lebih dari itu, kehadiran kami menghasilkan data penting lain terkait isu hukum keluarga yang sebenarnya tidak kami butuhkan untuk projek penelitian kami ini. Namun, tentu data tersebut yang memang terhadirkan dalam ruang persidangan dan tidak mungkin kami lewati menjadi data penting untuk penulisan karya ilmiah dan untuk fokus kajian lain.

Dalam penelitian di ruang persidangan kami tersebut, misalnya, saya menyaksikan bagaimana para hakim secara teliti mengkonfirmasi keislaman seorang pewaris sebelum memutuskan hak waris istrinya. Pewaris menikah dengan si istri dalam keadaan Islam setelah konversi dan meninggal beberap bulan setelah pernikahan akibat, seperti diterangkan para pihak termasuk saksi, serangan Covid 19. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya berkisar pada dokumen, tetapi juga pada praktik ibadah seperti salat dan tata cara pemakaman. Begitu juga para pihak mencoba memastikan keislaman pewaris dengan, misalnya, menginformasikan bahwa di belakang rumah dimana pewaris tinggal terdapat masjid. Praktik di persidangan ini menunjukkan bahwa konsep “status keagamaan” tidak selalu bersifat formal-administratif, tetapi juga melibatkan penilaian sosial-religius yang lebih subtil, sebuah sikap yang mungkin berbeda atau dianggap bergeser dari sikap yang selama ini disimpulkan oleh para peneliti sebelumnya, dimana Pengadilan Agama berorientasi pada birokrasi dan administrasi ketimbang judisialisasi. Memang ini masih perlu dikaji lebih dalam terutama kaitannya dengan putusan para hakim terhadap perkara tersebut.

Kasus lain yang kami temui di Pengadilan Agama lain yang kami datangi di beberapa minggu sebelumnya menunjukkan kompleksitas yang lebih dalam: seorang ayah mengajukan pembatalan pernikahan anak perempuannya—yang sudah berlangsung tiga tahun lebih dan menghasilkan dua anak—karena ia tidak dijadikan wali nikah. Alasan ini bersumber dari keputusan pegawai KUA atau penghulu yang menganggap sang anak “tidak sah” karena lahir kurang dari enam bulan setelah pernikahan orang tuanya—terkait isu ini memang terdapat beberapa 2 pandangan atau sikap hukum para penghulu dan salah satunya adalah bahwa anak yang lahir dalam pernikahan yang berjalan belum 6 bulan dianggap anak tidak sah dan karenanya hak perwalian tidak diberikan kepada si ayah--. Pada saat itu, para pihak nampak tidak berdaya ketika penghulu memutuskan perwalian diberikan kepada wali hakim, tidak kepada si ayah biologis, dan tidak mengira bahwa konflik besar akan muncul kemudian. Di persidangan tersebut, sebagai saksi yang dihadirkan oleh sang kakak, anak lain dari si ayah atau adik si perempuan yang pernikahannya diajukan pembatalannya, memberikan kesaksian dengan tangisan pedih sambil menyebutkan bahwa menurut penghulu perwalian tidak diberikan kepada ayah karena si kakak dianggap anak tidak sah. Ia sebenarnya sungkan mengungkapkan fakta tersebar yang ia tidak sama sekali ketahui sebelumnya, yaitu fakta hubungan seksual orang tua sebbelum pernikahan yang menghasilkan kelahiran kakaknya. Dalam kata lain, keputusan administratif ini memicu dampak yang luas: konflik keluarga, sengketa hukum, dan risiko stigma bagi anak. Dari sudut pandang living law, peristiwa ini mengungkap lapisan interaksi antara hukum negara, tafsir agama, dan norma sosial yang saling mempengaruhi, sering kali dengan konsekuensi yang tidak terduga.

Kesimpulan

Bagi saya, pengalaman-pengalaman ini menegaskan bahwa penelitian hukum yang hanya mengandalkan teks undang-undang atau putusan pengadilan berisiko kehilangan konteks yang esensial. Ethnographic presence tidak hanya memberi akses pada data yang kaya, tetapi juga memungkinkan peneliti memahami nuansa, emosi, dan logika internal para pelaku hukum. Ia membantu menjembatani jarak antara norma tertulis dan praktik yang hidup di lapangan.

Kedua kasus ini memperlihatkan bahwa hukum yang hidup di Pengadilan Agama terbentuk dari interaksi antara teks hukum, tafsir penegak hukum, norma agama, dan dinamika sosial keluarga. Tanpa kehadiran langsung, detail seperti konfirmasi keislaman pewaris atau alasan administratif yang memicu sengketa keluarga mungkin luput dari perhatian peneliti. Kehadiran fisik memungkinkan peneliti mengamati logika internal para pelaku hukum, pola komunikasi, dan keputusan-keputusan mikro yang memengaruhi hasil perkara.

Dalam konteks Pengadilan Agama juga, kehadiran ini menjadi semakin penting, karena di sinilah hukum formal bertemu dengan nilai-nilai agama, tradisi, dan kepentingan keluarga. Menghadirkan diri di ruang-ruang ini bukan sekadar soal mengumpulkan data, tetapi juga tentang membangun pemahaman yang lebih utuh terhadap bagaimana hukum dijalankan, dinegosiasikan, dan dihidupi. Tentunya juga kehadiran ini tentang bagaimana peneliti yang berprofesi sebagai dosen meng-update praktik hukum yang kemudian ditransfer kepada mahasiswa di kelas sebagai pengayaan pengetahuan hukum normatif dan empiris mereka.
PenulisEuis Nurlaelawati