logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Dilema Dispensasi Kawin: Secuil Refleksi dari Diskusi ISLaMS

Dilema Dispensasi Kawin: Secuil Refleksi dari Diskusi ISLaMS

DILEMA DISPENSASI KAWIN: SECUIL REFLEKSI DARI DISKUSI ISLaMS

 

Dr. Hijrian Angga Prihantoro, L.L.M

(Peneliti ISLaMS/Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Menindaklanjuti kerjasama penelitian internasional dengan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) dan Universitas Oslo, ISLaMS menyelenggarakan Focused Group Discussion (FGD) pada Jumat, 19 Juli 2024. ISLaMS menghadirkan narasumber dari latar belakang keilmuan dan pengalaman yang berbeda, yaitu,  hakim, pengacara, dan mediator. FGD ini merupakan salah satu kegiatan pengumpulan data projek kajian tahun pertama–projek kajian dilakukan selama 3 tahun, 2024, 2025 dan 2026–terkait hak-hak anak di Pengadilan Agama di beberapa wilayah peradilan dalam tiga perspektif, kesetaran jender, kebebasan beragama, dan kesejahteraan finansial. Dalam FGD untuk projek kajian tahun pertama ini, dengan perspektif kesetaraan jender ISLaMS memetakan tiga topik utama, yaitu hak asuh Anak, perwalian, dan dispensasi kawin. Meskipun perspektif yang digunakan adalah kesetaraan jender, diskusi mengungkap banyak hal yang tidak selalu berkaitan dengan perspektif yang digunakan. Tulisan ini merupakan secuil refleksi dari diskusi yang menghadirkan banyak hal dan mencerahkan para peserta terkait 3 isu di atas. Paparan di awal tulsian ini mengungkap isu-isu menarik secara umum, yang kemudian ditarik ke dalam diskusi ber-perspektif jender.

 

Dispensasi Kawin (DisKa) dan Problematika dalam Praktik

Sebagai salah satu topik yang didiskusikan, dispensasi kawin (DisKa), selanjutnya ditulis DisKa, merupakan fenomena yang kerap memicu persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan kepentingan terbaik bagi anak (the best interests of the child). Dispensasi kawin merujuk pada pemberian izin oleh pengadilan untuk melaksanakan perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur 19 tahun. Dalam masyarakat kita, pernikahan bukan hanya merupakan ikatan suci antara dua individu, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku. Namun, ketika kita menelaah lebih dalam, muncul dilema yang kompleks dan kontroversial terkait dengan DisKa ini.

 

Dengan memfokuskan pada penelusuran kesetaraan gender (gender equality), ISLaMS mencoba menggali pemahaman para hakim dan praktisi hukum lain terkait norma hukum usia minimum pernikahan, pandangan mereka terkait perbedaan usia minimum pernikahan bagi anak perempuan dan laki-laki sebelum perubahan UU Perkawinan Tahun 2019, terkait usia minimum perempuan, yaitu 16 tahun, yang masih di bawah usia anak, terkait peningkatan usia anak perempuan menjadi 18 tahun, dan terkait usia keduanya yang sama, yaitu 19 tahun. Perlu disebutkan kembali, bahwa sebelum 2019, berdasarkan pada UU No.1/1974 (pasal 7) dan Instruksi Presiden No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), usia minimum pernikahan untuk anak perempuan adalah 16 tahun dan anak laki-laki adalah 19 tahun. Setelah 2019, usia minimum pernikahan keduanya setara, yaitu 19 tahun, sebagaimana diatur dalam UU. No.16/2019. Selain itu, diksusi juga mengarahkan pada ketentuan ‘alasan mendesak’ kaitannya dengan isu jender dan pada praktik atau pengalaman para hakim dalam menyelesaikan perkara DisKa. Meskipun fokus diskusi DisKa pada isu-isu tersebut di atas, para narasumber mengungkapkan fakta-fakta menarik yang tertuang dalam putusan mereka dan menarik untuk dikaji. Beberapa masalah akademik diangkat, seperti  apakah pemberian izin DisKa merupakan solusi pragmatis bagi realitas sosial kita saat ini atau justru memicu paradoks-paradoks lain yang menginfiltrasi sistem hukum dan budaya hukum kita?

 

Dalam sesi diskusi, para narasumber berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka terhadap DisKa menekankan bahwa persoalan ini perlu ditelaah secara cermat kasu per kasus (case by case). Di antara temuan-temuan menarik adalah bahwa pengetatan DisKa tidak hanya menyangkut pemberian izin kawin, tetapi juga berkaitan dengan kontradiksi antar norma, perbedaan budaya hukum, kontestasi antar aktor, hingga paradoks di lapangan yang berhubungan dengan penerapan restorative justice.

 

Pertama, kontradiksi antar norma. Dalam konteks ke-Indonesiaan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Namun, para hakim sering kali dihadapkan pada norma-norma lain dalam undang-undang lain yang membuka ruang untuk DisKa melalui serangkaian syarat litigasi. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka DisKa sangat sulit untuk tidak diberikan. Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 juga memberikan ketentuan serupa, khususnya pada poin yang menekankan tidak adanya keterpaksaan dalam pengajuan DisKa tersebut.

 

Kedua, perbedaan budaya hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 juga disebutkan bahwa DisKa dapat diberikan dalam keadaan mendesak atau dengan alasan medesak. Mayoritas putusan Pengadilan Agama (PA) dalam kasus DisKa menunjukkan bahwa 'keadaan mendesak' sering kali diidentikkan dengan 'kehamilan sebelum pernikahan.' Namun, dalam pengajuan DisKa di beberapa daerah, seperti Madura, yang diterima oleh PA setempat, justru tidak pernah ditemukan kasus dimana pihak perempuan telah hamil. Pengajuan DisKa lebih didorong oleh budaya hukum yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Madura. Misalnya, budaya nikah ngodheh (nikah muda) yang diawali dengan tradisi bhakal eko-akoaghi (perjodohan anak sejak masih dalam kandungan) atau tradisi tan-mantanan (perjodohan pada masa kanak-kanak) yang dilakukan oleh para orang tua atau sesepuh (akal bhakal). Sebab, dalam pandangan masyarakat Madura, jika seorang perempuan pada usia 15-18 tahun belum menikah, ia akan distigma sebagai paraben/praban toah (perawan tua) yang selanjutnya akan diejek dengan sangkal, yaitu tidak akan ada lagi pemuda yang bersedia menikahi perempuan tersebut dalam kurun waktu yang lama (ta’ paju lake’).

 

Ketiga, kontestasi antar aktor. Di beberapa wilayah, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 'keadaan mendesak' justru tidak berkenaan langsung dengan perkara, melainkan adanya 'desakan-desakan' dari aktor-aktor lain yang sejatinya tidak terlibat secara langsung dengan pengajuan DisKa. Dalam hal ini, Kiai dan pejabat publik. Aktor-aktor ini sering mengirimkan utusan untuk berkomunikasi atau bahkan bertemu secara langsung dengan hakim yang hendak memutuskan perkara. Fenomena ini dianggap secara tidak langsung telah mencederai independensi hakim dalam memutuskan perkara DisKa.

 

Keempat, paradoks penerapan restorative justice. Fenomena pengajuan DisKa dalam konteks penerapan restorative justice mengungkap paradoks yang memprihatinkan dari perspektif kesetaraan gender. Beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa DisKa sering diajukan sebagai strategi untuk menghindari sanksi pidana bagi anak laki-laki yang terlibat dalam tindak pidana, seperti pemerkosaan. Dalam situasi ini, kesepakatan antara keluarga pelaku dan korban untuk menikahkan anak-anak mereka dianggap sebagai solusi restorative justice, yang pada gilirannya mendorong pengajuan DisKa.

 

Problematika DisKa dan Dampak terhadap Ketidakadilan bagi Perempuan

Pemetaan aspek-aspek yang mengitari fenomena pengajuan DisKa di atas menunjukkan bahwa persoalan DisKa perlu disikapi secara kritis. Dalam konteks kotradiksi antar norma, meskipun PERMA Nomor 5 Tahun 2019 menekankan pengajuan DisKa harus bebas dari paksaan, terdapat banyak kasus di mana tekanan keluarga atau komunitas memaksa anak-anak, terutama perempuan, yang belum berusia 19 tahun untuk mengajukan DisKa. Terlebih meskipun dalam praktik, pihak yang masih di bawah umur bisa saja dan memang banyak juga dari pihak laki-laki, pengaju pernikahan di bawah umur masih didominasi oleh pihak perempuan. Selain itu, melalui beberapa perkara yang diungkapkan, pihak keluarga anak perempuan cenderung lebih menekankan pada adanya upaya pernikahan anak perempuan mereka yang berada pada kondisi tertentu, seperti kehamilan dan atau usia yang melebihi batas usia minimum secara budaya. Perspektif kesetaraan gender mengungkap bahwa kontradiksi antar norma ini dapat melegitimasi praktik perkawinan anak melalui celah hukum. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk memastikan tidak adanya paksaan belum sepenuhnya efektif dalam melindungi hak-hak anak, khususnya perempuan.

 

Berkenaan dengan budaya hukum yang hidup di tengah masyarakat (living culture), dalam banyak kasus, permohonan DisKa tidak serta-merta dapat dipisahkan, seperti telah disinggung di atas, dari tekanan sosial dan budaya yang mendorong pernikahan anak di bawah usia 19 tahun, terutama di komunitas yang masih memegang nilai-nilai tradisional. Hal ini memperkuat stereotip gender yang merugikan, di mana perempuan dianggap siap untuk menikah dan memiliki anak meskipun masih sangat muda. Dari perspektif kesetaraan gender, pernikahan anak lebih berdampak negatif pada anak perempuan, yang lebih rentan mengalami masalah kesehatan, seperti komplikasi kehamilan. Anak-anak dari perkawinan ini juga berisiko mengalami masalah perkembangan fisik, mental, dan emosional karena orang tua mereka belum cukup matang untuk mengasuh. Dalam beberapa kasus, sering diungkap bahwa jika anak laki-laki di bawah umur yang menikah masih sering bisa merasakan kebebasannya sebagai anak, hak anak perempuan biasanya terenggut dengan pernikahan itu.

 

Fenomena keterlibatan aktor-aktor seperti Kiai dan pejabat publik dalam pengajuan dispensasi kawin (DisKa) yang berusaha mempengaruhi keputusan hakim dapat memperburuk ketidakadilan gender. Praktik ini tidak hanya mengancam independensi peradilan tetapi juga memperkuat norma-norma patriarki yang merugikan perempuan dan anak perempuan. Ketika tokoh-tokoh berpengaruh mendesak hakim untuk memberikan dispensasi, perempuan yang menjadi subjek DisKa sering kali kehilangan suara dan otonomi mereka, terjebak dalam perkawinan anak yang dapat menghambat perkembangan pribadi, kesehatan, dan pendidikan mereka. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tegas untuk melindungi independensi hakim dan memastikan bahwa keputusan DisKa didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak tanpa tekanan eksternal yang mendistorsi keadilan.

Adapun pengajuan DisKa pasca terjadinya kesepakatan antara keluarga pelaku dan keluarga korban, di mana kesepakatan ini dinilai sebagai upaya restorative justice, sebenarnya dapat mengancam kepentingan terbaik bagi anak dari aspek pemenuhan hak-hak hukumnya. Pendekatan strategis “dari restorative justice ke pengajuan DisKa” ini tidak hanya mengabaikan hak-hak korban perempuan tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan gender dengan mengorbankan keadilan bagi korban demi melindungi pelaku. Perlu disadari bahwa kesepakatan semacam ini mencerminkan bias patriarki yang mengutamakan pemulihan reputasi keluarga pelaku atas pemulihan trauma dan hak-hak korban, serta menunjukkan belum idealnya sistem hukum dalam memberikan perlindungan yang adil bagi perempuan dan anak-anak.

 

Dengan demikian, untuk mencapai gender equality, kebijakan hukum yang ada harus konsisten dan saling mendukung dalam melindungi hak-hak anak. Reformasi hukum yang lebih ketat terhadap DisKa diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan pembatasan usia minimum perkawinan dapat tercapai. Selain itu, diperlukan upaya edukasi dan pemberdayaan di tingkat komunitas untuk menyikapi secara kritis norma-norma sosial yang mendorong perkawinan anak, serta memberikan dukungan bagi ana-anak untuk dapat secara berkelanjutan mengembangkan potensi mereka tanpa harus terjebak dalam praktik pernikahan anak itu sendiri.