logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

Konflik Hak Asuh Anak dalam Konteks Orang Tua Beda Agama dan Gugatan Pencabutan Hak Asuh Ibu: Pandangan atau Kesaksian Ahli

Konflik Hak Asuh Anak dalam Konteks Orang Tua Beda Agama dan Gugatan Pencabutan Hak Asuh Ibu: Pandangan atau Kesaksian Ahli

 

Oleh Euis Nurlaelawati

A. Pendahuluan

Setelah dimohonkan untuk menjadi saksi ahli di PA Bantul terkait dengan perkarra harta bersama dan di Mahkamah Konstitusi dalam persidangan judicial review atas perkara hukum pernikahan beda agama, saya diminta untuk menjadi ahli dalam perkara pengasuhan anak di Pengadilan Agama Magelang. Di bawah ini adalah paparan terkait dengan perkara yang disidangkan, pandangan hukum saya terkait perkara, dan refleksi hukum atas perkara ini. 

B. Deskripsi Perkara

Perkara ini berangkat dari perceraian antara seorang suami dan istri yang memiliki seorang anak di bawah usia 12 tahun. Hak pengasuhan anak (selanjutnya Anak) yang baru berusia beberapa bulan secara legal formal diberikan kepada istri atau selanjutnya ibu si anak (Ibu) berdasarkan putusan Pengadilan Agama Magelang. Namun, setelah bercerai, Ibu kembali memeluk agama Kristen, agama yang ia peluk sebelum ia menikah. Meskipun hak pengasuhan diberikan kepada Ibu, dalam praktiknya Anak diasuh oleh saudara laki-laki dari almarhumah ibu dari Ibu (uwa si Ibu atau kakek samping Anak), selanjutnya Uwa. Ayah si anak tidak mempermasalahkan perkara ini dan tidak memperdulikannya. Uwa dan istrinya ini beragama Islam, telah lama melakukan konversi dari agama Kristen ke Islam bersama keluarga besar lainnya termasuk keluarga Ibu si Anak.

Belakangan Ibu merasa keberatan dengan pengasuhan yang dilakukan oleh Uwa dan meminta Uwa menyerahkan anaknya untuk selanjutnya diasuh olehnya sesuai dengan putusan pengadilan. Uwa menganggap Ibu tidak mampu menjalankan pengasuhan secara baik. Uwa juga berfikir bahwa Ibu tidak relevan untuk mengasuh si Anak karena ia telah menikah lagi dengan pria lain, yang beragama non-Islam. Dengan dasar demi kepentingan terbaik bagi anak, Uwa mengajukan gugatan untuk pencabutan hak asuh Ibu dan meminta agar hak pengasuhan dialihkan kepadanya secara legal formal. Permohoan pencabutan ini diajukan karena Uwa juga menilai bahwa Anak telah diasuh lama olehnya dan Anak dianggap telah merasa nyaman berada dalam pengasuhannya.

Perdebatan terjadi di persidangan antara Ibu si Anak dan Uwa. Ibu berkeberatan dengan keinginan Uwa pengasuh untuk mencabut haknya yang resmi atas pengasuhan Anak. Sementara, Uwa tetap ingin mempertahankan pengasuhan meskipun tidak berdasarkan pada putusan yang legal formal dan tidak mempunyai niat mengajukan gugatan pembatalan hak asuh Ibu terhadap Anak. Namun, permohonan Ibu yang terus menerus meminta Uwa menyerahkan anaknya mendorong Uwa untuk menyelesaikan hal ini melalui jalur litigasi melalui permohonan pembatalan hak asuh Ibu atas Anak tersebut.  

C. Norma Hukum terkait Pengasuhan Anak dan Interpretasi dalam Praktik

Dalam persidangan saya diminta menyampaikan beberapa isu hukum terkait perkara ini. Isu-isu yang dibahas dan diharapkan dari saya untuk memberikan pandangan hukum adalah seperti akan dipaparkan di bawah ini.

1. Hak Asuh dan Kualifikasi Pengasuh

Saya menjelaskan bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU No.1/1974 tentang Perkawinan, anak di bawah usia 12 tahun secara prinsip diasuh oleh ibunya. Namun, ketentuan ini dalam praktik dapat dikesampingkan jika terdapat alasan yang kuat. Pasal 105 KHI membuka ruang untuk pengalihan hak asuh demi kepentingan terbaik anak. Praktik pengadilan menunjukkan bahwa para hakim telah menafsirkan “kepentingan terbaik” ini secara dinamis, termasuk mempertimbangkan karakter, kelayakan psikologis dan moral dari pengasuh, serta kenyamanan anak.

Meskipun tidak terdapat klausul eksplisit tentang agama dalam UU Perkawinan maupun KHI sebagai syarat pengasuhan, putusan Mahkamah Agung tahun 1996 membuka preseden bahwa agama dapat menjadi salah satu pertimbangan, khususnya jika berdampak langsung terhadap perkembangan keagamaan anak. Meskipun perkara yang sedang ditangani tidak secara gamblang terkait dengan isu kualifikasi keagamaan pengasuh, tetapi isu ini menjadi perdebatan dalam persidangan dan saya diminta untuk memberikan pandangan hukum terkait poin hukum ini. Saya menegaskan bahwa perkara yang sedang disidangkan tidak secara signifikan berkaitan dengan isu agama dan saya mengenyampingkannya, seperti akan disinggung lagi sekilas di bawah.

2. Peralihan Pengasuhan dan Susunannya

Terkait poin ini, saya menegaskan bahwa dalam KHI diatur bahwa hak pengasuhan ibu beralih kepada keluarganya. Tidak ada ketentuan terkait kondisi khusus kapan peralihan bisa dilakukan. Namun, prinsip kepentingan terbaik bagi anak membawa pemahaman bahwa beberapa kondisi dapat dipertimbangkan; jika seorang ibu wafat atau kehilangan kapasitas (secara psikologis, moral, atau fisik), maka hak pengasuhan berpindah kepada keluarga ibu (nenek dari pihak ibu). Jika nenek tidak ada, dalam pemahaman hukum saya, maka tidak tertutup kemungkinan bagi kerabat lain dari ibu, termasuk saudara kandungnya (seperti uwa/kakek samping) untuk memperoleh hak pengasuhan, khususnya jika telah terbukti melakukan pengasuhan secara faktual sejak lama. Ketentuan ini dapat dilihat sebagai bentuk fleksibilitas hukum demi prinsip maslahah dan kepentingan terbaik anak.

Dalam kasus ini, Uwa telah mengasuh anak sejak lahir, dan keberadaan serta perannya dapat dilihat sebagai pengasuh faktual (de facto guardian). Dalam kerangka ini, hukum dapat mengakomodasi penetapan hak pengasuhan secara formal kepada pihak tersebut meskipun secara struktur silsilah tidak berada di urutan utama.

3. Pengasuhan oleh Orang yang Tidak Memiliki Hubungan Darah

Untuk poij ini saya merngutip pasal 156 KHI yang mengatur tentang pengasuhan oleh pihak yang bukan orang tua kandung, umumnya dalam bentuk pengangkatan anak. Prosedur ini tunduk pada pengawasan lembaga seperti Dinas Sosial dan syarat administratif lainnya, termasuk usia minimal/maksimal dan kemampuan finansial.

Namun, dalam perkara ini, saya tegaskan bahwa hubungan antara anak dan penggugat bukan dalam konteks pengangkatan, tetapi sebagai pengasuhan oleh kerabat darah. Maka, ketentuan pengangkatan anak tidak serta merta berlaku. Bahkan jika isu usia diajukan, baik dalam konteks pengasuhan maupun pengangkatan (yang dalam kontkes Indonesia secara substansi sebenarnya adalah pengasuhan) fakta bahwa penggugat telah mengasuh anak sejak lama menegaskan kelayakan dan kontinuitas peranannya sebagai pengasuh.

4. Apakah Agama Menjadi Isu Penentu?

Saya memaparkan bahwa dalam praktik di Pengadilan Agama, dalam kajian saya agama memang sering menjadi pertimbangan dalam penentuan pengasuhan, terutama bila berkaitan dengan pengembangan identitas keagamaan anak. Namun, agama bukan satu-satunya pertimbangan dan tidak bersifat mutlak. Tujuan utama hukum Islam, termasuk dalam pengasuhan, adalah untuk menjaga kepentingan terbaik anak (al-maslahah al-mursalah), baik secara fisik, psikologis, maupun spiritual.

Di sejumlah putusan, pengasuhan tetap diberikan kepada ibu non-Muslim jika ia dinilai memiliki kapasitas dan integritas moral yang baik, sementara dalam kasus lain, ibu Muslim dapat dicabut hak asuhnya jika terbukti tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, agama dalam perkara ini tidak berdiri sebagai isu utama, melainkan sebagai isu ikutan. Poin krusial adalah apakah kelayakan dan sikap Ibu dalam menjalankan peran pengasuhan dapat dipenuhi.

5. Putusan Hak Asuh yang Inkracht dan Eksekusinya

Saya menjelaskan bahwa putusan pengasuhan yang disatukan dengan perkara perceraian kerap kali tidak mendalam dalam mempertimbangkan kondisi faktual pengasuhan. Dalam kondisi normal, putusan memang harus dieksekusi. Namun, ketika ditemukan bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan realitas pengasuhan dan justru berpotensi merugikan anak, maka putusan tersebut dapat digugat dan dimintakan pembatalannya demi kepentingan anak.

Dalam konteks ini, penetapan kembali siapa yang paling layak sebagai pengasuh dapat dimohonkan kepada pengadilan melalui gugatan terpisah, seperti yang dilakukan penggugat (Uwa), untuk mendapatkan pengakuan hukum atas peran pengasuhan yang telah ia jalankan dan melalui gugagtan pembatalan hak pengasuhan Ibu.

C. Penutup: Implikasi dan Saran

Berdasarkan uraian di atas, saya berpendapat bahwa perkara ini harus dilihat melalui lensa kepentingan terbaik anak (best interests of the child), sebagaimana diamanatkan oleh hukum nasional dan norma internasional (seperti Konvensi Hak Anak). Pengasuhan bukan soal formalitas atau urutan silsilah semata, melainkan siapa yang mampu, berkomitmen, dan telah terbukti mengasuh anak secara nyata dan berkualitas.

Dalam perkara ini, penggugat Uwa memiliki posisi kuat sebagai pengasuh faktual yang telah memberikan perawatan, stabilitas, dan lingkungan yang nyaman bagi anak. Fakta bahwa Ibu kembali menuntut hak asuh setelah bertahun-tahun tidak aktif harus dikaji secara cermat dan proporsional, bukan semata didasarkan pada putusan awal yang mungkin kurang mempertimbangkan konteks pengasuhan aktual.

Oleh karena itu, saya menyarankan agar pengadilan mempertimbangkan untuk mengeluarkan penetapan atau putusan atas perkara hak pengasuhan anak ini berdasarkan prinsip kelayakan, kenyamanan anak, dan kontinuitas hubungan pengasuhan.