Kajian dan Diskusi Forum Thesis-Talk: Menumbuhkan Kesadaran Budaya Produk Halal di Indonesia

Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) yang diketuai oleh Prof. Euis Nurlaelawati menyelenggarakan diskusi dalam forum Thesis-Talk dengan tema “Halal dalam Kajian: Norma dan Politik Hukum Jaminan Produk Halal di Indonesia”. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu, 18 Juni 2025, bertempat di Ruang Technoclass Lantai 1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menghadirkan dua narasumber: Dr. Diky Faqih Maulana, M.H. dan Dr. Muhammad Lutfi Hamid, M.Ag.
Dalam pemaparannya, Dr. Diky menekankan pentingnya regulasi jaminan produk halal yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, PP No. 39 Tahun 2021, Perpres No. 83 Tahun 2021, hingga Peraturan Menteri Agama No. 26 Tahun 2019. Regulasi ini mengatur kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha yang memproduksi makanan, minuman, dan produk konsumsi lainnya.
Dr. Diky juga memetakan struktur kelembagaan pelaksana jaminan produk halal, yaitu BPJPH sebagai pemberi sertifikasi dan regulator, LPH sebagai lembaga penguji kehalalan produk, serta MUI yang berwenang mengeluarkan fatwa kehalalan atau keharaman suatu produk. Dalam praktiknya, ia menyoroti kasus pelabelan halal yang tidak sesuai, seperti kasus PT Ajinomoto yang sempat menggunakan enzim babi (MUI, 2001/1421 H), serta temuan pelaku usaha yang menjual makanan dari daging anjing kepada konsumen muslim. Hal ini mencerminkan rendahnya kesadaran budaya hukum atas pentingnya produk halal di tengah masyarakat.
Sementara itu, Dr. Muhammad Lutfi Hamid membahas dinamika politik hukum dalam penyusunan regulasi jaminan produk halal. Ia menggarisbawahi adanya tarik-menarik kepentingan antara korporasi dan aktor negara, serta pentingnya melihat dimensi substantif dari hukum, bukan hanya aspek positivistiknya. Dalam pandangannya, hukum harus memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat agar mampu mewujudkan tatanan yang lebih adil dan berkeadaban.
Dengan pendekatan filosofis dan realistis, kedua narasumber bersepakat akan pentingnya membangun kesadaran budaya hukum atas sertifikasi halal. Mereka merujuk pada konsep sistem hukum dari Lawrence M. Friedman (2013), yang menekankan bahwa keberfungsian hukum harus dilihat dari tiga aspek: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Ketiga komponen ini harus bersinergi agar hukum dapat hidup dalam masyarakat yang plural dan multikultural.
Contoh konkret dari sinergi tersebut terlihat dalam peran masing-masing institusi: BPJPH sebagai regulator dan pemberi edukasi, LPH sebagai lembaga penguji, MUI sebagai pemberi fatwa, dan aparat penegak hukum dalam menertibkan pelaku usaha yang melanggar aturan. Struktur yang tertata akan menghasilkan substansi hukum yang inklusif dan proporsional, yang pada gilirannya membentuk budaya hukum di kalangan masyarakat dan pelaku usaha. Dalam kerangka ini, produk halal tidak lagi dipersepsikan sebagai simbol identitas agama semata, melainkan sebagai nilai universal yang mendukung keteraturan sosial dan ekonomi.
Kedua narasumber juga menekankan bahwa sertifikasi halal memberikan dua nilai keunggulan: nilai moral dan nilai sosial. Nilai moral menjadi panduan etis berdasarkan ajaran agama, yang mengarahkan perilaku agar tetap berada di jalur kebaikan dan kebenaran. Sementara itu, nilai sosial memberikan kerangka normatif dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong perilaku yang dianggap layak, benar, dan pantas.
Nilai-nilai ini mendorong lahirnya kesadaran, kejujuran, dan komitmen pelaku usaha dalam membangun usaha yang berintegritas, loyal, dan akuntabel. Pada akhirnya, tujuan utama dari sertifikasi halal mencakup tiga aspek:
- Memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha,
- Menjamin perlindungan konsumen muslim, dan
- Membangun kepercayaan publik secara umum.
Dalam sesi tanya jawab, para narasumber menegaskan bahwa kesadaran budaya produk halal tidak hanya merefleksikan kepentingan pragmatis, melainkan juga bentuk penghormatan terhadap nilai religiositas masyarakat muslim. Dengan adanya kesadaran akan pentingnya sertifikasi halal, pelaku usaha sejatinya sedang mengikuti aturan negara dan agama yang tidak hanya bersifat formalistik, melainkan juga empirik dan kontekstual.
Pada akhirnya, kesadaran budaya halal melalui kepemilikan sertifikasi halal merupakan nilai yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat, bukan sekadar alat dalam persaingan bisnis, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual dalam praktik usaha di Indonesia.
Penulis: Dhika Tabrozi
Editor: Euis Nurlaelawati
Referensi
Friedman, L. M. (2013). Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial Diterjemahkan dari judul buku The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Foundation, 1975) (M. Khozin (trans.); Cetakan V). Nusamedia.
MUI. (2001 H/1421 M). Fatwa MUI Tentang Produk Penyedap Rasa (Monosodium Glutamate/MSG) PT. Ajinomoto Yang Menggunakan Mameno.