logo

logo

Welcome to the Institute for the Study of Law and Muslim Society, an academic entity committed to being a center of excellence in developing legal knowledge and understanding the dynamics of Muslim societies.

Get In Touch

FriE-Talk: Menguak Isu-isu Hukum Keluarga melalui Pengamatan Empiris secara Langsung

FriE-Talk: Menguak Isu-isu Hukum Keluarga melalui Pengamatan Empiris secara Langsung

 

Seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, Friday Evening Talk (FriE-Talk) kali ini membicarakan tentang beberapa isu hukum keluarga Islam di Indonesia dan kaitannya dengan penelitian. Isu-isu yang dibahas berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang terjadi di masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Sesuai dengan tujuan forum ini, fakta-fakta tersebut dibingkai dalam kerangka berpikir penelitian sehingga layak untuk dikaji. Memang, kajian hukum keluarga terkadang beranjak dari hal yang sederhana yang bisa menjadi isu yang menarik ketika dibincangkan dengan kacamata kajian Dalam kesempatan ini, Professor Euis Nurlaelawati, yang menjadi pemandu dalam forum ini, seperti biasa memantik diskusi dan menyampaikan isu dan permasalahan hukum Islam terutama hukum keluarga berdasarkan pengamatannya sendiri. Isu yang dikuak dan diangkat kali ini adalah isu hukum taklik talak dan perwalian pernikahan yang ia serap dan amati di beberapa minggu terakhir ini. Ia menyampaikan dua isu ini setelah ia menghadiri acara pernikahan sepupunya di kampung halaman di Januari 2024.

Mengawali diskusi di 9 Februari 2024 ini, Professor Euis menegaskan bahwa dua isu yang akan dibincangkan ini didasarkan pada pengalaman empiris-nya. Ia menyebutkan bahwa taklik talak, misalnya, tidak selalu dilafalkan oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan. Perbedaan penerapan ini dapat dipahami dalam logika penelitian dengan mengkaji pemahaman masyarakat dan mengaitkannya dengan Kompilasi Hukum Islam ataupun fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang menyebutkan bahwa taklik talak telah diakomodir dalam peraturan perundangan dan tidak lagi relevan untuk dilafalkan dalam akad nikah. Ini juga dapat dikaitkan dengan pemahaman para calon istri terkait perlindungan hukum mereka. Demikian juga halnya dengan wali nikah, dimana posisi wali nikah memang tidak selalu diambil oleh orang tua laki-laki si pengantin perempuan karena faktor tertentu, dan dalam kata lain, dimana perwalian beralih dari wali dekat ke wali lain karena beberapa kondisi termasuk tidak adanya wali dekat karena kematiannya. Ini kemudian, menariknya, berdampak kepada lafazh akad nikah yang diucapkan.

Secara umum, hal ini menjadi menarik karena ternyata pada praktiknya lafadz ijab dan qabul nikah dengan wali bukan ayah si perempuan menyebabkan adanya dua pihak laki-laki sebagai wali dan sebagai ayah kandung yang selalu disebutkan dalam akad. Akad ijab qabul ini menimbulkan penggunaan redaksi akad yang berbeda dan terkadang membingungkan secara redaksional. Ini yang disaksikan oleh professor Euis dalam praktik pernikahan sepupunya. Ia dengan detail menyebutkan bahwa ijab berbunyi, ‘saya nikahkan engkai wahai DA dengan neng MS, adik saya, dengan mahar C dibayar tunai’. Qabul diucapkan dengan kalimat, ‘saya terima nikah dan kawinnya MN binti D, sebagai adik bapak, dengan maskawin C dibayar tunai. Redaksi qabul, yang mengandung nama bapak (yang sudah meninggal dan disusul kata-kata ‘sebagai adik bapak’ dan juga ‘ijab’ yang dengan tanpa kata ‘bint D', ini ternyata menimbulkan keraguan atas kesahan akad, dan membawa si calon pengantin laki-laki mengulanginya hingga 3 kali.

Isu hukum dan konteks ini yang kemudian menjadi point penting dibicarakan dalam pertemuan ini. Dalam beberapa pertanyaan penelitian terkadang “konteks” tidak dipertimbangkan secara matang sehingga berdampak kepada tidak signifikan-nya sebuah penelitian. Professor Euis dalam hal ini menyampaikan bahwa pertanyaan penelitian mesti dikaitkan dengan konteks yang ada. Setiap pertanyaan yang dibangun bukan tanpa alasan, tetapi harus didasari oleh landasan yang kuat. Kurang kuatnya landasan tersebut kerap terjadi pada beberapa riset yang ada, tidak hanya pada mahasiswa tetapi pada peneliti hukum Islam secara umum. Pembahasan ini ditujukan agar penelitian yang dilakukan dapat berkontribusi kemudian secara teoretis atau secara praktik by implication terhadap kebijakan yang akan disusun nantinya.

Dalam membicarakan ini Professor Euis juga memberikan beberapa contoh penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Contoh ini diharapkan dapat memberikan wawasan untuk membandingkan bagaimana penelitian-penelitian hukum keluarga dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Di samping itu, dalam diskusi ini juga disampaikan beberapa rekomendasi bacaan untuk memperkaya wawasan secara konseptual. Meskipun kajian beranjak dari isu faktual tetapi aspek teoretis juga perlu diperbincangkan sehingga isu tersebut dapat dipahami sebagai sebuah kajian yang dilakukan secara ilmiah dan akademik. Mengakhiri pertemuan ini, diskusi juga menyinggung tentang proposal penelitian salah satu anggota FriE-Talk yang akan melanjutkan studi doktoral. Isu yang dibahas kali ini berkaitan dengan Mahkamah Agung dan upaya pembaharuan hukum keluarga di Indonesia. [Mhd Yazid]